To be a Writer ..








Balik Layar Yudhistira
Rini Hardiyanti










Ucapan Terima Kasih

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, telah memberiku anugerah ini. Memberiku kesempatan dan peluang untuk menyelesaikan karangan. Dia telah memberi warna warni kehidupan sehingga saya bisa terinspirasi untuk menulis. Dia juga menitipkan orang-orang hebat di sekitarku, sehingga saya termotivasi. Mereka semua adalah keluargaku, sahabat-sahabatku, serta orang-orang yang kukasihi dan mengasihiku.
Kepada sahabat-sahabatku, kalian memang bukan pembaca pertamaku, tapi kalian yang paling mendukungku . Kakakku, terima kasih sudah banyak mengajari. Tidak lupa kepada seseorang yang menjadi inspirasi terbesarku.
Terakhir, untuk para pembacaku. Apapun respon kalian, minimal kalian sudah berkeinginan untuk membaca karanganku. Apalagi kalau kalian sudah menyukai, bagiku itu adalah kesuksesan. Semua ini kupersembahkan untuk kalian. Terima kasih.



Rini Hardiyanti




















Satu..

Aku Rani, lebih tepatnya Maharani Annisaa. Aku terlahir sebagai anak kedua dari orang tua yang hebat. Kakakku bernama Reyni. Dia perempuan yang cantik dan pintar. Aku serasa begitu tercukupi dari keluarga ini. Meskipun kadang merasa dikekang oleh ‘pingitan’ mereka mengingat kedua orang tuaku berprofesi sebagai guru, tapi aku bahagia karena bisa menikmati hal itu.
Sekarang aku sudah duduk di bangku kelas XII di SMA yang cukup berpengaruh dalam perkembangan mutu pendidikan kota. Siapa yang tidak tahu SMA Yudhistira? Tapi meski demikian, sekolahku ini juga dikenal dengan hal-hal mistisnya. Aku sendiri percaya, hanya saja aku acuh. Kurasa ‘mereka’ tidak akan mengganggu yang tidak mengganggu ‘mereka’. Bagaimanapun juga, aku menyukai sekolahku. Di Yudhistira, aku menemukan sahabat-sahabat yang membuatku tidak menduga mereka sebaik itu padaku. Secara lebih khusus, kusebutkan saja bahwa mereka adalah Amel, Yhuni, dan Tika.
Belum berakhir sampai di situ, karena aku pun masih mempunyai satu yang istimewa, yaitu Akbar. Laki-laki yang membuatku tidak menyangka bisa memiliki rasa yang amat berharga ini. Dia laki-laki yang membuatku jatuh cinta berulang kali padanya. Aku bingung bagaimana menggambarkan sosoknya. He is too great and I never found the word which could be match with his self. Dia adalah laki-laki tercerdas yang pernah kukenal, tapi dia juga laki-laki yang bodoh.
Membicarakan tentangnya, aku jadi teringat pada masa lalu. Dimana kami sempat putus hingga lebih dari setahun, kemudian dia berpacaran dengan perempuan lain. Saat itu aku menunggunya, tapi karena lelah, aku memilih membuka hati untuk orang lain. Saat itu dia mengataiku ‘tolol’. Haha aku tahu dia cemburu. Tapi karena bodohnya dia, dia baru seakan menarikku saat aku sudah terlanjur menerima cinta orang lain. Tapi hubunganku tidak bertahan lama, aku tidak sanggup berlama-lama sakit karena telah membiarkan orang lain di dekatku. Aku lebih memilih sendiri dengan ketenanganku, dan kembali menunggunya. Kadang aku shock, aku gusar, aku marah, dan aku ingin mengamuk. Membuatku seolah menjadi sosok antagonis. Tapi tidak seantagonis dalam cerita sinetron Indonesia. Aku masih punya kendali, karena aku masih punya Tuhan. Aku hanya terlalu jahat pada Akbar, karena selalu membebaninya pada hampir setiap kegelisahanku. Maafkan aku sayang. Aku hanya terlalu mencintaimu. Aku terlalu cemburu melihatmu dengan orang lain. Meski logikaku berkata aku merelakanmu, ikhlas dan tulus padamu, bersedia mengasihmu saja tanpa peduli akankah kau membalas atau tidak. Sayangnya perasaanku tidak berkata demikian. Perasaanku membutuhkan kasihmu sayang. Gejolak keduanya menyatu dalam jiwa yang sepi ini. Kemudian seakan hendak memberontak dan lupa ingatan. Hal ini membuatmu sungguh gusar dan serba salah terhadapku. Sekali lagi maafkan aku.
Kemudian pada suatu ketika, akupun akhirnya tahu jelas bahwa perasaanmu masih untukku. Aku tidak lagi menduga-duga hal itu dari tatapanmu saja, tapi kau sudah membenarkannya. Kau sungguh bodoh. Kau membuatku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu, tapi saat aku tahu, aku sadar bahwa kau benar bodoh.
“Kamu udah masang DP foto bareng dia, itu seolah-olah kamu udah bahagia banget sama dia. Dan kamu mungkin udah sayang banget sama dia, lebih dari rasa sayang kamu ke aku. Bahkan di saat kita masih bareng dulu...”
“Astaga tolool! Jadi cuma segitu penilaian lo  selama ini ke gue? Gue kira lo udah tau gimana gue, tapi ternyata lo menilai kayak gitu. Hhh..., tapi terserah lah. Terserah lo mau nilai gue kayak gimana. Gue juga udah salah nganggep lo udah kenal gue...”
“Heh masalahnya gue juga bingung, gue nggak tau apa yang ada di pikiran lo. Yaaahh..., mungkin gue GR. Karena kadang gue ngerasa lo masih sama kayak dulu. Cara lo natap gue, cara lo ngomong, cara lo bersikap, bahkan di saat lo sinis atau marah sekalipun, lo masih sama dengan dulu. Gue merasa kalo lo masih sayang sama gue...”
“Hhhh... gak tau!”
“Hhhh Akbar, tatapan lo ke gue beda kan sama tatapan lo ke Novi. Begitu juga tatapan gue ke elo beda kan sama tatapan gue ke El?”
“Yaiyalah itu karena ada rasa...”
“Nah gitu juga gue nilai lo...”
“Yah gue kayak gitu karena emang gue masih nganggep lo kayak dulu. Gue masih nganggep lo kayak teman, sahabat, dan hhhh... pacar buat gue. Kalo tatapan gue udah beda berarti gue udah nganggep lo beda.”
Saat itu aku tercengang. Tapi aku bersikap stabil. Aku tidak menyangka kau bisa mengakuinya setelah setahun lebih perpisahan kita. Aku tidak lagi sekedar menduga-duga. Tatapan matamu, cara senyummu, sikapmu, meski di saat kau marah, kau masih sama seperti di saat kita bersama sebelumnya. Tatapanmu tetap sehangat selimut sutera. Senyum dan sikapmu, tetap laksana insan yang melindungi kekasih yang ditanggungnya. Satu lagi, aku yakin kau sebenarnya menyimpan foto-fotoku di handphone-mu yang lain. Aku memang tidak pernah menggunakannya, tapi aku yakin. Padahal saat itu kau bukan milikku. Demi menjaga keadaan, kau tidak pernah mengatakan kata ‘sayang’ padaku atau sejenisnya. Kau memang tidak pandai dalam hal itu. Sedari dulu hingga kini, kau tidak romantis. Kau jarang memanggilku ‘sayang’. Tapi itu juga lah yang membuatku tidak bosan dan penasaran apa yang ada di hati dan pikiranmu. Hingga aku sadar bahwa kau memperhatikanku, aku tahu kalau kau menyayangiku dan pacarmu waktu itu. Aku merasa itu cukup. Dan akhirnya kau memilihku untuk bertahan denganmu. Lagi-lagi kau sungguh bodoh sayang. Padahal aku selalu mengusikmu. Kalau ujung-ujungnya kau memilihku, untuk apa kau bersamanya dulu? Kau meminta untuk kuusik dan kurisaukan dengan keegoisanku? Kau memilih perempuan sepertiku untuk menjaga hatimu. Tapi aku berterimakasih atas kebodohanmu itu sayang.
Maafkan aku mengataimu. Sesungguhnya kembali bayangmu menegaskan bahwa kaulah laki-laki tercerdas. Kau sama sekali tidak bodoh. Bahkan aku menyukurinya. Tanpa kebodohanmu itu, aku mungkin tidak mendapatkan kasihmu lagi. Satu lagi yang membuatku tersenyum atasmu. Saat kau mengataiku ‘tolol’. Hahaha, asal kau tahu saja, aku justru bahagia saat kau mengataiku dengan sebutan itu. Karena kau mengataiku ketika dulu aku beranggapan kau tidak mempunyai rasa yang sama denganku.
Itulah dirimu. Kau juga selalu menjadi dambaan mereka. Lagi-lagi itu bukti bahwa kau hebat. Aku patut cemburu atau bangga? Jawabannya, aku bangga. Aku sangat bangga memiliki hatimu. Meskipun kita masih sekolah, aku harap kita akan bertahan. Sama seperti doa pasangan-pasangan bahagia lainnya. Akupun berdoa bersama mereka.
Entah apa yang telah kita lakukan berdua. Hingga aku mencintaimu dengan sehebat ini. Kau tidak hanya membuat rasaku bertahan denganmu, tapi juga logikaku. Kau laki-laki yang dewasa, apa adanya, humoris, pengertian, cerdas, dan tidak munafik sebagai perempuan aku tidak suka laki-laki yang perhitungan. Hahaha setidaknya itu bentuk tanggung jawabmu, asalkan aku tidak matre saja. Sebaliknya, aku pun lebih suka saat kau terbuka mengatakan ‘aku tidak punya uang’. Itu lebih baik daripada kau membatalkan sesuatu. Karena masih ada aku yang bisa menanggulanginya. Bukankah memang itulah sepasang kekasih? Saling mengisi, saling mengerti, saling mengasihi dan saling ikhlas. Keadaan ini membuat kita tidak ada keraguan dalam bertindak apapun. Dan aku melihat banyak kasih antara kita.

@@@












dua..

Malam ini kau tidak menghubungiku. Apa yang sedang kau lakukan? Mungkin kau sibuk atau lelah dan butuh istirahat. Mungkin juga kau sedang ingin sendiri menikmati malam. Tidak masalah bagiku, aku sudah terlanjur percaya padamu. Kepercayaan yang datang dari tanggung jawabmu.
Kupandangi langit gelap, pandangan yang begitu lepas seolah aku melayang di angkasa. Memang dari posisiku saat ini, aku bisa bebas menikmati langit. Karena bangunan-bangunan tinggi atau pepohonan di sekitarku masih lebih pendek dari tempatku berbaring. Rumahku memang tergolong tinggi, ditambah lagi aku sedang berada di atap.
Entah ada berapa banyak bintang di langit, akan menjadi pekerjaan bodoh saja jika aku menghitungnya. Dalam pandanganku ini, aku mengingatmu sayang. Aku laksana seorang gadis remaja yang sedang kasmaran. Ada nyanyian yang menyatakan indahnya cinta hanya di awal. Tapi aku sungguh beruntung, karena aku bisa merasakan indahnya cintaku pada seorang Akbar meski kedekatan kami sudah berada di tahun ketiga. Aku justru merasa semakin lama perasaanku semakin berkembang seperti pohon. Awalnya masih berupa benih, kemudian tumbuh dan terus tumbuh hingga berkembang yang bahkan aku sendiri sudah tidak tahu sudah sepanjang apa akarnya menjelajah dan sampai di mana ranting menjalar. Haha kalau memang cinta kami seperti pohon, mungkin sekarang pohon kami sedang berbunga. Seperti apa bunga kita sayang? Apa secantik Anggrek? Anggrek memang bunga kesukaanku, tapi aku yakin bunga kita masih lebih cantik dan bisa membuatku berpaling dari Anggrek.
Aku menghela nafas, kututup mataku. Kurasakan angin malam bergerak merabaku. Aku begitu menikmatinya. Aku bisa merasakanmu. Merasakan dahsyatnya kasih cintamu padaku. Kau berbaring di sampingku, membelai rambutku dengan jemarimu, dan aku merasakan hangatnya nafasmu di keningku. Tidak terasa, aku sampai meneteskan air mata. Saksi dari indahnya khayalku. Sayang, rasanya aku ingin tidur. Bukan karena aku mengantuk, tapi karena aku ingin merasakan tidur di atas kenyamanan ini. Selamat malam sayangku..

@@@

Deertt..deertt..
Deertt..deertt..

Kuraih handphone-ku seketika dan kubuka pesan yang masuk dari sang pujaan hati, Akbar. Haha ternyata senyumku sudah lebih dulu mekar dari loading untuk membuka pesan.

Pagi J

Membaca pesannya, aku langsung menekan reply dan mengetik balasanku.

Pagi sayang J

Maaf yah, semalam aku kerjain tugas trus ketiduran hehe

Ohaha gapapa kok J udah mandi?

Haha belum :D tapi masih pantas dapat cium tuh wkwk

-___- ga pantas tuh blweek :p

Oh yaa? Hahaha

Huh iya dong :p

Hahaha ya udah kalo ga mau :p

Embeerr :p

Baskom aja lebih gede

Iiiihh -___-

Apa iihh? :p

Ga tau ahh

Hahaha mau mandi dulu yah

Oke sayang J

Hahaha kau benar-benar membuatku kasmaran sayang. Hanya dengan mendapat pesan seperti itu saja, aku sudah serasa terbang bersama bunga-bunga indah. Sampai ketemu di sekolah.

@@@

Amel sudah duduk rapi di bangkunya, begitu pula dengan Yhuni dan Tika. Tapi mereka tampak sibuk dengan urusan masing-masing, yaitu sibuk dengan handphone. Palingan mereka sibuk dengan pacar. Begitu pula aku yang sibuk dengan perasaan dan pikiran bahagiaku. Senyumanku yang sedari tadi memancar sudah berbahasa, seolah berkata ‘aku sedang kasmaran’. Oh Tuhan, makhlukmu yang satu itu memang sungguh hebat.
Aku duduk manis di bangkuku, kukeluarkan handphone dari saku rok, dan kuperiksa apakah ada pesan atau tidak yang belum kubaca, ternyata tidak ada. Senyumanku masih mekar. Semoga hari ini aku akan terus tersenyum. Mataku menerawang keluar, kulihat siswa-siswi lainnya berlalu-lalang. Kutengok kelas Akbar yang memang tidak jauh dari kelasku, sepertinya sayangku itu memang belum datang. Atau mungkin dia sibuk di dalam kelas. Hahaha ada apa denganku, sepertinya aku berlebihan. Tapi memang inilah kerjaanku di hampir setiap harinya, memandangi kelasnya, siapa tahu saja bisa melihatnya dari kejauhan. Sampai-sampai teman-teman sekelasku sudah hafal kebiasaanku dan mengejekku setiap kali aku mendekat ke jendela. Aku hanya tersenyum, mereka semua pengertian.
Deertt...deertt...
Langsung saja kubuka pesan yang masuk.

:p

Apaan sih?

Hahaha kamu yang apaan? :p

Haah? Kok aku?

Masi pagi2 udah ngintip :p

-__- kok tauu U,U

Hahaha aku kan bakat intel :p

Sok begetee -__-

Hahaha biarin :p kamu blajar aja gih

Mau blajar apa coba?

-___- yah blajar. Emang ntar ada plajaran apa?

Bio, mtk, bhs.indo :D

Ya udah blajar sana dripada ngintip mulu

U,U iyaa iyaa

Muka kamu jelek kalo gitu

Iiihhh >,<

Jadi tambah jelek atuh

Huh auk ahh mau blajar J kamu juga yahh

Okee ;)

@@@

Krriiiiiiiiiiiingggggggggggggggggggg....!!!!!!!
Bel panjang SMA Yudhistira sudah berdering. Itu pertanda jam pulang sekolah sudah tiba. Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia-ku pun mengakhiri kegiatan mengajarnya, kemudian ketua kelas menyiapkan kelas untuk memberi penghormatan. Setelah itu kami membereskan buku dan peralatan lainnya, bersiap-siap untuk pulang.
“Kamu sama siapa?”, tanya Yhuni.
“Sama Ayah laah...”, jawabku sambil menarik resleting tasku.
“Ohh hahaha ya udah, diluan yah... Daahhh...”
Aku tersenyum, kemudian merapikan pakaianku. Maklum saja, karena besar kemungkinan aku akan bertemu Akbar di luar. Setelah merasa cukup, aku pun meninggalkan ruang kelas, tapi -----
“Aaaaahhwww!!”
Kaki kananku terlipat dibawah badanku yang kini menempel dengan lantai. Aku terjatuh seperti orang bodoh. Kaki kananku terasa sakit dan kaku, bahkan bergetar. Orang-orang langsung menolongku. Hingga akhirnya kulihat Akbar ada di antara mereka.
Akbar melepas sepatuku, kemudian menekan bagian yang sakit. Aku hanya bisa meringis kesakitan. Aku juga malu, tapi apa boleh buat.
“Sakit sekali?”
“Iiyah...”
“Hmm coba jalan dulu yah...”
Aku menurut, mencoba berdiri bersamanya. Tekanan berat badanku kupatokkan pada kaki kiri untuk menghindari nyeri yang sulit kuterima dari kaki kananku. Akbar membantuku berjalan pelan-pelan, kemudian kembali mengajakku duduk untuk memasang sepatuku.
“Hahaha makanya hati-hati... Bisaa juga kamu jatuh di situ. Kok bisa sih?”
“Yaah nggak tau, jatuh aja...”
“Haha lain kali hati-hati, jalan nggak usah buru-buru. Nggak dikejar anjing kan?”, Akbar bergurau, membuatku melupakan rasa sakit.
“Iiihh iya iyaa...”, aku jadi malu sendiri.
Kini aku berdiri bersamanya, dia tersenyum memandangku. Hahaha aku jadi menertawai kecerobohanku ini. Tadinya aku sudah rapi-rapi keluar kelas, ujung-ujungnya aku jatuh. Tapi sayang, perhatianmu itu membuatku lupa kalau kakiku sakit. Malah kalau boleh memilih, lebih baik aku jatuh setiap hari hahaha. Ups, kau jangan sampai tahu apa yang ada di pikiranku. Karena kalau ketahuan bisa-bisa kau menjitak kepalaku ˘_˘.
Ternyata memang tidak ada hari yang terus indah. Semua itu bergantung dari bagaimana kita menganggap hari itu indah atau tidak. Tapi aku merasa bahwa selama aku bersamamu, hariku akan selalu indah. Karena kaulah keindahan itu.

@@@

Kubaringkan tubuhku di tempat tidur. Entah mengapa aku merasa sangat lelah. Padahal tadi di sekolah tidak ada kegiatan yang diluar dari yang biasanya. Jadi harusnya aku baik-baik saja.
Kupegangi kaki kananku, masih sakit. Aku bangkit dan memeriksa lebih detail. Ternyata telapak kakiku membiru dan agak bengkak. Langsung saja kuraih minyak tawon dari atas meja dan kuolesi pada kakiku yang memar. Aneh, baru kali ini aku punya luka memar di telapak kaki dan tepat di tengahnya.
Deert..deertt..
Tiba-tiba handphone-ku bergetar, ada pesan.
Manis :D
Jiah..., ini orang kesambet apaan? Hahahah, batinku karena kaget saat membaca pesan Akbar. Sejak kapan dia memanggilku dengan kata itu? Pernah, tapi jarang dan bagiku itu lucu.

Iyaaa J

Kamu ngapain?

Duduk2 aja. Kakiku memar U,U

Ooh tinju aja :p

-___- tinju kamu yah?

Haha kalo brani :p
 kasih obat gih

Udah kok J

Lagii yang banyak

Kalo banyak2 nanti aku kepleset -__-

Yah bagus dong :p
Kok gitu? U,U

Biar jatuh lagi

Ngedoain yah s(-˛-)z

Jatuh cinta sma aku
      maksudnya wkwkwk

¬ ¬ kamu sakit yah? Aneh tau :p
Jadi ganjen gitu hahaha

Sayang, kau memang kadang manja. Tapi kau justru lucu saat bermanja padaku. Saat itulah yang membuatku tidak bosan denganmu. Akbar, aku menyukai segala yang ada dalam dirimu sayang.
Suara Mama terdengar mendekati kamarku. Kuletakkan handphone-ku, aku sudah siap kalau pintuku terbuka.
“Ran, besok mau ikut pergi?”, tanya Mama begitu muncul di balik pintu kamar.
“Ke?”
“Jalan-jalan aja, ke permandian...”
“Yang pergi siapa aja?”
“Mama sama anak sekolah. Reyni sama Ayah nggak bisa ikut...”
Aku diam sejenak, berpikir. Sudah lama aku tidak kemana-mana. Kalau kali ini aku tidak pergi, mungkin aku tidak akan punya kesempatan lagi kecuali setelah masuk kuliah.
“Boleh...”, jawabku singkat yang diikuti dengan berlalunya Mama.

@@@











Tiga..

Aku sudah siap, begitupun dengan mobil yang akan mengantar kami ke tempat tujuan. Mama memasukkan barang-barang ke bagasi kemudian masuk dan menyalakan mesin.
“Pergi yaaah...”, ujarku pada orang rumah sebelum memasuki mobil. Di belakangku, sudah ada anak-anak murid Mama. Mereka tidak banyak, hanya ada 7 orang. Jadi cukup untuk dimuat dalam satu mobil.
Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, pagi ini kami sudah siap untuk ke tempat permandian yang berada sekitar 30 km dari kota. Lokasi tujuan kami merupakan pegunungan yang sudah terkenal dengan keindahan alamnya. Keberadaan taman kupu-kupu, air terjun, daerah hiking, dan goa membuat pengunjung tidak bosan berada di sana. Apalagi sudah ditunjang dengan fasilitas-fasilitas lain seperti flying fox dan banyaknya pedagang buah tangan yang khas dari tempat itu.
Perjalanan jauh dan banyaknya kendaraan yang dilalui membuatku agak jenuh. Ditambah lagi aku duduk di depan, sehingga pancaran sinar dari matahari yang perlahan naik sudah menyengat kulitku. Tidak apalah, awalnya mungkin memang begini. Tapi setibanya di sana, semoga kegelisahan ini terbayarkan haha.

Tidak terasa sudah sejam lebih kami diperjalanan. Pegunungan sudah tampak di depan mata. Artinya tidak lama lagi kami akan sampai. Anak-anak murid Mama mulai riuh mengagumi keindahan alam. Aku hanya tersenyum, namanya juga anak SMP. Dulunya juga aku bersikap seperti mereka saat menemukan sesuatu yang patut dikagumi.
“Kita sudah hampir sampai...”, ucap Mama.
Kupandangi gunung-gunung yang berdiri kokoh di pinggir jalan. Begitu banyak pepohonan liar menancap di permukaannya. Batu-batu gunung tak beraturan, ada pula yang terlihat baru saja mengalami pengikisan. Di beberapa sisi, terlihat juga batuan yang membentuk menyerupai stalagmit dan stalagtit. Apa seperti ini gunung yang biasa dilalui para pecinta alam? Kupandangi lebih dalam. Aku suka pada panjat tebing, tapi sepertinya tidak siap jika harus menjadi pemanjat gunung yang masih sangat asri itu.
Aku terdiam. Saat melihat keadaan gunung dari dekat, dia terlihat seram. Tapi saat melihatnya dari kejauhan, decakan kagum terlintas di benak. Aku pernah membaca suatu buku, di dalamnya menuliskan sebuah analogi antara percintaan dengan gunung. Aku merenung dan membenarkan analogi tersebut. Percintaan memang bagaikan gunung. Saat dilihat dari kejauhan, dia begitu indah dan rasanya ingin mendekat dan menjalaninya. Akan tetapi saat kita sudah berada pada percintaan itu, ternyata ada begitu banyak terjalan dan lika-liku yang sulit untuk dilalui. Bahkan percintaan itu membuat kita yang mengalaminya merasa bahwa kehidupan begitu menyeramkan. Dan ketika kita ingin keluar darinya, ternyata tidak semudah itu. Pilihan antara melompat dari ketinggian gunung dan merasakan sakitnya jatuh terhempas, atau bersabar dan berjalan dengan kehati-hatian menuju jalan akhir. Kemudian meraih kelegaan yang begitu besar saat kita sudah berhasil keluar dari lika-liku itu.
Kini gerbang sudah di depan mata. Mama membelok dan memasuki lokasi. Beberapa petugas menyambut dan di antara mereka ada yang menukar selembar karcis dengan uang dua ribuan dari Mama. Kemudian Mama memarkir mobil di antara deretan mobil pengunjung lainnya yang sudah terlebih dahulu datang.
Aku keluar dari mobil. Membuka bagasi di belakang, dan menurunkan barang bersama dengan anak-anak yang lain. Baru kusadari, mereka anak-anak yang manis. Mereka jauh lebih modis dan menarik jika dibandingkan saat aku masih SMP dulu hahaha.
Kami berjalan menuju loket. Tapi Mama memilih mengantre sendiri dan menyuruhku menemani anak-anak. Di pinggiran jalan, berjejer para pedagang yang menawarkan barang-barang khas tempat wisata tersebut. Ada juga yang menawarkan makanan dan minuman. Namun anak-anak murid Mama lebih tertarik melihat pernak-pernik. Beberapa di antara mereka malah membeli dan memesan ukiran nama mereka dengan pacar masing-masing. Hahaha tingkah mereka membuatku teringat kembali pada masa SMPku.
Tidak lama kemudian Mama menghampiri kami dan membagikan tiket masuk. Saatnya untuk masuk dan menikmati suasana. Let’s go!

Kami menyewa gazebo yang tidak jauh dari air terjun. Orang-orang berlalu lalang dari berbagai arah. Mereka kelihatan datang dari luar daerah, kota, bahkan negara. Kupu-kupu beterbangan, riuh suara gembira para pengunjung dan derasnya air terjun menyatu. Anak-anak murid Mama sudah bersiap-siap untuk mengganti pakaian dan menyatu dengan air.
Suasana memang menyenangkan. Tapi  sayangnya aku lupa membawa celana ganti. Kalau aku ikut turun menikmati air terjun, tidak lucu aku pulang dalam keadaan basah. Namun aku juga tidak mau berdiam diri di sini. Apa kata dunia kalau aku datang ke sini tapi malah menjadi penjaga barang?
Perhatianku beralih pada anak tangga yang berjejeran tinggi ke atas dan dilalui banyak pengunjung. Lebih baik aku ke sana daripada menyesali keadaan, pikirku. Aku pun langsung berjalan menuju tangga dan berjalan bersama pengunjung lainnya.
Anak tangga demi anak tangga kulalui. Aku menoleh ke bawah, aku sudah berada di ketinggian yang cukup. Tapi orang-orang masih saja berjalan ke depan. Aku jadi penasaran dengan tujuan mereka.
Anak tangga terakhir. Namun bukan akhir dari tujuan. Pengunjung masih berjalan. Ada juga yang singgah beristirahat. Karena masih merasa bertenaga, kulanjutkan saja perjalananku mengikuti arus pengunjung dan arah jalan. Di sebelah kananku merupakan aliran air menuju air terjun sedangkan di sebelah kiriku merupakan sisi gunung. Andai saja aku membawa kamera, aku tidak akan melewatkan sesi ini. Saat ini aku harus berpuas dengan kamera handphone.
Lama berjalan, kudapati penjual minuman dan makanan ringan. Aku belum haus, juga belum lapar. Kulanjutkan saja perjalananku. Tetapi semakin ke depan, penjual masih kudapati yang sepertinya memang sudah berjejer dengan jarak tertentu. Jalanan berkelok-kelok, sehingga kadang aku sendirian namun kemudian ada pengunjung lain di depan atau di belakangku.
“Sendirian Dek?”
Aku menoleh. Ternyata seorang petugas yang menegurku. Dia bersama dengan rekannya yang lain mengantarkan rombongan wisatawan.
“Iya.”
“Temannya yang lain di mana?”
“Di bawah aja.”
“Ohh ya udah ikut rombongan aja. Mau ke Goa Batu?”
“Ohh iya, makasih...”
Kesempatan bagus. Sekarang tidak perlu ada yang kukhawatirkan. Apalagi rombongan ini sudah menyewa orang yang akan menceritakan tentang tempat yang kami datangi ini.
Akhirnya kami tiba di tujuan. Para penyewa senter dan petromax sudah  menawarkan barangnya pada para pengunjung. Namun rombongan memilih untuk istirahat sejenak sebelum memasuki goa. Aku hanya ikut saja dengan mereka.
Rombongan menyewa petromax untuk modal menelusuri goa. Aku mengekor dengan petugas tadi. Dia mengajakku bicara, aku pun membalas agar tidak terasa aneh berada di antara rombongan. Tidak apalah, aku sudah terlanjur penasaran dengan keadaan di dalam goa. Soalnya seumur hidup aku belum pernah memasuki goa.
Kurasakan dinding goa begitu lembab dan tidak jarang kudengar suara tetasan air dimana-mana. Semua sisi goa tidak beraturan. Dindingnya menyerupai lelehan lilin. Masih begitu gelap meski dua petromax telah menyala dengan api sedang.
Kami dihadapkan pada tiga lorong kecil. Menurutku kami mungkin akan masuk ke lorong yang lebih besar dari yang lain, ternyata aku salah. Jalan yang harus kami lalui adalah lorong yang paling kecil. Itu membuatku berjalan sambil sedikit jongkok dan berpegangan pada dinding yang menghimpit.
Pemandu membawa kami pada sudut goa, katanya di sana dulunya merupakan tempat raja bersemedi. Kemudian kami berpindah di tempat raja berwudhu. Tempat wudhu itu tidak pernah kering. Beberapa dari rombongan mencuci muka di tempat itu. Begitu mereka pergi, aku ikut mencuci muka hihi. Lumayan, katanya airnya mengandung belerang, jadi bisa untuk membersihkan kulit dari toksin hahaha.
Aku kembali berjalan mengekori mereka. Hingga akhirnya kami sudah di ujung jalan. Kami pun kembali menuju jalan keluar. Kulihat ada seorang perempuan duduk membelakangi, dan seorang laki-laki yang mengenalnya hanya menyodorkan cahaya.
“Mereka ngapain?”, tanyaku pada petugas tadi.
“Biasa..., berdoa biar jadi jodoh.”
“Oohh di sini banyak yang gitu yah?”
“Yah bagi mereka yang percaya aja. Kan di situ ada batu jodoh. Makanya banyak tulisan nama di dinding-dinding...”
Kuperhatikan dinding-dinding yang ditunjukkan, ternyata memang banyak tulisan nama. Selain itu juga ada batu yang diikatkan banyak gelang. Mungkin batu itu yang dimaksud sebagai batu jodoh. Kulihat ke sekeliling, kembali kudapati pasangan lainnya. Ya ampun, untung saja aku bukan orang yang percaya pada keyakinan semacam itu. Tidak apalah, itulah keanekaragaman.

@@@

“Kamu dari mana aja?”, tanya Mama cemas begitu aku sampai di hadapannya.
“Dari goa hehe...”
“Ya ampun. Mama udah hampir nyari kamu. Kenapa telvon nggak diangkat? SMS juga nggak dibalas..”
Mendengar ocehan Mama, aku hanya tersenyum menahan tawa. Soalnya aku teringat pada iklan yang sedang eksis.
“Aku nggak ada sinyaaal...”, jawabku dengan nada yang mengikuti iklan.
“Hah kamu tuh ya. Kamu sama siapa?”
“Sama rombongan yang lain...”
Mama pun tampak tenang. Kuistirahatkan diri dengan duduk di gazebo dan menikmati suasana. Aku cukup lelah, tapi juga puas.

Lama aku berdiam. Tiba-tiba kulihat seseorang melayang melintas tidak jauh di depanku. Ternyata dia bermain flying fox. Ingin rasanya aku mencoba. Tapi Mama tidak mengizinkan. Tidak apalah, aku juga tidak begitu berani mencobanya.
Rasanya aku sudah lama duduk. Kebosanan kembali menghampiriku. Aku meninggalkan gazebo dan berjalan ke arah yang belum kutelusuri. Kudapati banyak asap, mungkin permandian air panas. Aku menoleh ke atas, ada tulisan ‘AREA PEMBAKARAN IKAN’. Aku salah tebak lagi. Ini bukan area permandian air panas, melainkan pembakaran ikan. Pantas saja asapnya terlalu banyak.
Bukan hanya tulisan tadi yang kudapati. Ternyata di atas juga kudapati jembatan gantung menyeberangi kali. Aku pun langsung naik ke atas mencari jalan menuju jembatan itu.
Kuseberangi jembatan dengan hati-hati. Aku bersyukur karena jembatannya tidak terlalu goyang. Kusadari orang-orang memperhatikanku. Hahaha aku memang norak, soalnya aku jarang berjalan di jembatan gantung. Aku terus berjalan hingga aku sampai di seberang.
Aku kembali berjalan. Kudapati seseorang di depan, kamera dan foto yang dibawanya menyiratkan profesinya sebagai fotografer sewaan. Dia membelok dan tidak terlihat lagi olehku. Aku penasaran dengan tujuannya. Langsung saja kuikuti dia dan kudapati beberapa orang lainnya.
Jalanan mendaki. Aku sadar, sekarang aku sedang mendaki gunung. Jalannya tidak seterjal yang tadi kulihat sebelum tiba di tempat ini. Ada banyak ranting pohon yang bisa kujadikan pegangan.
“Perlu diantar Mbak?”, tanya seseorang yang sepertinya merupakan pemandu.
Aku hanya diam dan terus mendaki. Dia mengikutiku. Tidak apalah, namanya juga orang cari rejeki. Di tengah jalan, kami bertemu seorang bapak-bapak sedang merokok.
“Kamu ngapain di sini?”, tanyanya dengan suara garang.
“Mau ke atas Pak...”, jawabku.
“Mau ke Goa Mimpi? Kamu sendirian?”
“Iya.”
“Keluarga kamu mana?”
“Di bawah.”
“Kamu nggak bisa ke atas. Udah balik aja sana...”
“Biarin aja lah, kasihan...”, ucap si pemandu tadi.
“Jangan, bahaya nanti..”, ucap bapak-bapak itu pada si pemandu.
“Ya udah kalo nggak bisa...”. Aku membalik dan turun meninggalkan mereka. Namun bapak-bapak itu langsung memanggil.
“Kamu nggak pernah ke Goa Mimpi?”
“Nggak pernah.”
“Ya sudah. Kamu ikut saya...”
Perasaan kecewaku hilang dan aku kembali mendaki. Semakin ke atas, dakianku semakin sulit dilalui. Sesekali bapak itu mengulurkan tangannya untuk memudahkanku ke atas.
Kami singgah beristirahat sejenak di sisi yang datar. Kulihat ke bawah, mengerikan. Aku tidak menyangka bisa sampai di tempat ini. Padahal baru beberapa jam yang lalu aku menolak untuk mendaki gunung ini. Tapi kurasa jalan yang kulalui memang tidak semengerikan yang tadi kulihat.
“Masih jauh Pak?”, tanyaku.
“Masih. Kenapa? Kamu udah capek?”
“Nggak kok.”
Kupandangi sekitar, tidak ada pengunjung lain, tidak ada penjual seperti saat ke Goa Batu. Tempat ini memang tidak memungkinkan adanya penjual, tapi mengapa tidak ada pengunjung. Apa karena pengunjung malas mendaki?
“Mau jalan lagi?”
“Boleh.”
“Aduh tapi lupa bawa senter. Kamu punya HP?”
“Punya.”
“Yah baguslah. Pake itu aja. Orang bilang, kalo ke sini tapi nggak ke Goa Mimpi berarti belum mimpi...”
Bapak itu kembali mendaki. Aku mengikut di belakangnya. Ini tidak seperti manjat tebing. Malah kurasa lebih mudah meski keselamatan tidak terjamin karena hanya bermodal handphone.
Akhirnya kami tiba di pintu goa. Ada dua pintu, tapi kami masuk di pintu sebelah kanan. Begitu masuk, gelap. Bapak itu langsung menyuruhku menyalakan handphone. Kami berjalan memasuki goa. Ini sungguh gelap. Aku terpikir untuk kembali. Kami tidak mungkin bisa menelusuri goa dengan cahaya seminim ini. Lebih gelap daripada mati lampu di rumahku saat malam hari! Tapi kurasa tidak apalah, aku hanya ingin melihat-lihat seperti di Goa Batu. Aku juga penasaran dengan tembusan goa ini, karena katanya goa ini akan tembus dekat dengan gerbang masuk area permandian ini.
Aku tidak bisa menikmati dinding-dinding goa. Beruntung sudah ada jembatan kayu untuk kami lalui menelusuri goa. Di bawah jembatan juga hanya tanah.
“Di depan ada tangga, kamu biar saya gendong.”
Aku hanya diam. Kami melewati celah kecil memasuki ruang berikutnya. Ternyata memang ada tangga. Aku belum mengenal situasi, jadi kubiarkan saja bapak itu menggendongku di punggungnya sambil menuruni tangga. Begitu di bawah aku langsung meminta turun. Firasatku mulai tidak enak. Kami hanya berdua di goa ini. Gelap dan hanya bermodal handphone. Di sini juga tidak ada sinyal. Bagaimana jika bapak ini berniat jahat padaku? Bagaimana caraku menyelamatkan diri. Tidak akan ada yang datang menolongku. Kalau aku memutar balik, perjalanan sudah jauh. Mungkin lebih baik aku maju saja dan menemukan tembusannya. Goa ini mungkin sependek di Goa Batu.
Aku berjalan terus. Tidak sedikit kayu jembatan yang lepas dan rusak. Mau tidak mau aku harus turun dari menginjak dasar goa kemudian berjalan lagi di kayu jembatan yang masih bisa diinjak.
“Kamu jalan terlalu cepat...”, panggil bapak itu.
Aku menoleh, aku memang sudah berjalan jauh di depannya. Disodorkan cahaya padanya agar dia bisa mempercepat langkahnya. Setidaknya aku bisa bersyukur karena aku bisa berjalan lebih cepat dari bapak itu.
“Kamu kalo mau ninggalin ya nggak pa-pa.”
“Nggak kok.”
“Kenapa?”
“Soalnya aku  nggak tau jalan keluar.”
Bapak itu pun sampai padaku. Nafasnya terdengar jelas, dia keletihan. Beruntung aku tidak seletih dia.
“Ya udah kita sama-sama aja jalannya...”, ucapnya kemudian meletakkan tangannya di pundakku.
Langsung saja kulepas tangannya dan aku kembali berjalan.
“Kenapa? Nggak pa-pa...”
“Nggak Pak, saya nggak suka. Ayah saya aja nggak gitu sama saya...”
Firasatku semakin tidak enak. Ya Tuhan, satu permohonanku saat ini, aku ingin keluar dari tempat ini dan pulang dengan selamat, Aamiin. Kutekan tombol handphoneku untuk menyalakan cahayanya. Kulihat foto Akbar, aku teringat padanya. Sayang, apa yang akan terjadi kalau sampai aku keluar dalam keadaan yang tidak sama dengan sebelumnya. Maafkan aku sayang, aku sudah nekat ke tempat ini dan tidak memikirkan keadaan ini.
Dari dalam hati, aku terus saja berdoa. Aku benar-benar cemas pada keselamatanku. Tidak jarang aku melihat layar handphoneku untuk sekedar melihat foto Akbar. Jalan yang kulalui terasa sudah jauh. Tapi mengapa belum sampai juga?
“Pak, ini masih jauh?”
“Masih.”
Astaga, kalau saja aku tahu perjalanan sejauh ini, aku sudah memutar balik dari awal. Aku semakin cemas. Bagaimana kalau bapak ini menjebakku? Tapi kurasa tidak, karena aku masih berjalan di jembatan. Aku yakin jembatan ini mengantarkan ke jalan keluar.
“Ini udah setengah perjalanan?”, tanyaku.
“Belum. Jalan aja terus...”
Aku kembali berjalan. Kalau memutar balik, ini sudah terlalu jauh. Jalanan yang sudah dilalui juga sulit. Meski perasaan sudah sangat tidak enak, aku merasa sebaiknya maju. Selama jembatan ini masih ada, aku merasa lebih aman.
“Kayaknya ada yang ngikutin.”
Aku langsung menoleh pada bapak itu. Dia diam di tempat, menoleh ke belakang. Aku tidak sempat berpikir lebih, mungkin karena pikiranku sudah terlalu cemas.
“Siapa di sana?!”, bapak itu berteriak. Suaranya menggema. Tapi tidak ada balasan.
Aku hanya diam di tempat. Mengarahkan sinar ke belakang karena cukup penasaran. Tapi aku tidak bisa melihat apa-apa. Hanya ada beberapa kalelawar yang beterbangan.
“Masalahnya di sini banyak setan-setannya Dek...”
Ya ampun. Kalimat barusan menambah kecemasanku. Bagaimana kalau saat keluar dari goa ini aku malah sakit. Tidak bisa dipungkiri, tempat-tempat seperti ini memang tidak jarang memiliki mistis yang bisa membuat pengunjungnya jadi sakit. Apalagi penyakit yang diderita juga tidak bisa disembuhkan medis.
Pikiranku semakin bercabang. Tapi aku terus berjalan. Itu merupakan usaha satu-satunya yang harus kutempuh jika ingin lebih baik.

Ujung jembatan. Namun belum juga kulihat cahaya jalan keluar. Aku berjalan terus. Di depan kutemukan dua jalur. Ya ampun sekarang bagaimana lagi? Aku menoleh pada bapak itu. Dia masih di belakangku.
“Sekarang gimana?”
“Coba senterin jalannya.”
Kuarahkan handphoneku pada dasar goa. Dia tampak bingung.
“Bapak nggak tau jalan?”
“Ya saya juga lupa-lupa ingat.”
Hah? Maksudnya?
“Oh lewat sini...”, ujarnya kemudian langsung membelok ke salah satu jalan.
Aku ragu. Tapi aku juga tidak tahu harus kemana kalau tidak mengikut dengannya.
“Kalo nyasar?”
“Ya kenapa mau takut nyasar? Nggak pa-pa. Pasti kita keluar kok. Tuh liat jalan ini berbatu, yang di sana tanah.”
Kulihat jalannya, ternyata memang benar yang dia katakan. Jalan yang dia injak berbatu dan buatan, sedangkan jalan yang lain masih berupa tanah. Aku pun mengikutinya.
“Masih jauh?”
“Sudah dekat...”
Syukurlah, meski aku belum sepenuhnya lega. Aku masih takut kesasar. Kulihat layar handphoneku, tertulis pukul 03.41 PM. Sudah hampir satu jam sejak mendaki tadi. Mama pasti sudah mencemaskanku lagi. Tuhan, selamatkan aku.
Berjalan terus mengikuti jalan. Aku sudah tidak terpikir untuk menikmati suasana, keadaan goa, atau yang lainnya. Di pikiranku hanya untuk keluar dari tempat ini. Untung saja hanya sedikit kalelawar yang melintas di dekatku.
“Nah, itu jalan kaluarnya..”, ujar bapak itu dan langsung membuatku menoleh ke depan.
Cahaya dan celah kecil. Ternyata benar, sudah hampir sampai. Ya Tuhan, terima kasih telah menjagaku. Semakin kupercepat langkahku menuju celah itu. Namun masih hati-hati karena jalan yang licin.
Celah itu tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya. Terlalu kecil dan perlu sedikit mendaki. Tidak apa, yang penting aku selamat.
“Kita selamat kan?”
“Hha iya Pak...”
“Yah makanya nggak usah cemas. Abis ini penurunan...”
Akhirnya celah sudah di depan mata. Aku sudah bisa melihat keadaan di luar. Aku menoleh ke belakang, sepertinya ada cahaya lain. Ternyata ada pengunjung lain yang datang. Mereka semua laki-laki dan ada yang membawa senter. Mereka berjalan semakin mendekat.
“Kok mereka bisa cepat?”, tanyaku.
“Yah karena mereka bawa senter.”
Haaah kenapa baru sekarang ada pengunjung lain. Aku mulai mendaki, kutarik ranting yang memancang di celah keluar. Keadaan yang licin membuatku sangat berhati-hati. Bapak tadi bahkan hampir jatuh. Untung celahnya kecil jadi dia bisa mudah menggapai sisi yang lain untuk bertahan.
Aku sampai. Aku sudah berdiri tegak dengan hamparan cahaya. Kulihat layar handphoneku, sudah ada sinyal. Tidak ada lagi gelap, tidak ada lagi kecemasan. Hhhh terima kasih Tuhan..., terima kasih atas keselamatan ini...
Pengunjung tadi menyusul di belakangku. Aku sudah bisa melihat mereka dengan jelas. Di antara mereka ada seorang pemandu. Aku sudah merasa aman sekarang.
“Ayo, kita turun.”, ajak si bapak.
Aku mengikut, berjalan sebentar kemudian mulai menuruni gunung. Tapi penurunan lebih sulit dari pendakian. Tidak sedikit bebatuan kecil menjadi pijakan, membuat kakiku seringkali merosot lebih dulu. Aku juga tidak bisa berdiri tegak atau membungkuk, karena malah membuatku serasa ingin jatuh ke depan. Aku pun hanya berjalan sambil duduk di bagian yang kuanggap kokoh.
Kesulitan untuk turun tidak membuatku berhenti atau beristirahat. Handphone di saku celana sudah terus-terusan bergetar, aku yakin itu kecemasan Mama. Kubiarkan saja getaran itu, saat ini tidak memungkinkan bagiku untuk menerima telepon. Untung saja tidak ada ular atau sesuatu yang menakutkan. Hanya ada beberapa kaki seribu, dan aku bisa menyadari keberadaan mereka di sekitarku, membuatku bisa menghindarinya.
Sekitar lima belas menit penurunan, aku sudah bisa melihat pondok kecil dan sapi milik warga di bawah. Perasaanku semakin baik meski keringat sudah membasahi sebahagian besar rambutku.
“Kita sudah sampai. Muka kamu merah, kamu capek?”
“Ah nggak kok Pak..”, jawabku sambil terus turun.
“Di depan ada penjual minum. Kita singgah dulu...”
Bapak itu kembali berjalan dan sampai di tanah yang datar. Aku hanya mengikuti. Aku memang sudah haus.
Kulihat kakiku sudah berlumuran lumpur. Celana yang kuangkat sampai lutut juga sudah berbercak kecoklatan akibat gesekan tanah yang lembab. Tapi ternyata sendalku masih utuh, tidak ada talinya yang putus. Padahal sendal ini sama sekali tidak cocok dengan pendakian atau perjalanan jauh. Hahaha aku patut bersyukur karena sendal ini tidak membuatku kerepotan.
Aku sampai di dasar. Aku membelok ke arah pemukiman warga. Mereka memandang kami dengan tatapan yang sama. Mereka mungkin heran melihatku, seorang perempuan yang menyusuri goa dengan seorang bapak tua. Jangankan kalian, aku sendiri pun tidak menyangka ini terjadi pada diriku.
“Air minum dua...”, ujar bapak itu pada seorang warga yang sedang berjaga di rumah sekaligus kiosnya.
Orang itu pun masuk di kiosnya kemudian keluar membawakan dua botol air minum kemasan. Kuselesaikan membayar, dan langsung kuteguk airnya. Beriringan dengan itu pula keringatku mengalir lebih deras. Setelah itu, kami kembali berjalan ke arah area permandian.
“Ya sudah, sampai di sini saja ya...”
Aku menoleh pada bapak itu, aku tersenyum. “Terima kasih Pak...”, ucapku diikuti dengan menyalaminya.
Bapak itu tidak meminta bayaran padaku. Dia menyebut dirinya bukan pemandu, hanya seorang penolong. Pantas saja dia sempat lupa jalan. Jika dipikir-pikir lagi, bapak itu agak aneh. Dia menguras tenaganya tapi tidak meminta apa-apa. Bukannya aku tidak menghargai seorang penolong, aku hanya merasa ganjil saja. Mengenai firasatku sewaktu masih di dalam goa, itu memang kurasakan. Dan Tuhan telah menyelamatkanku.
“Kamu dari mana aja?!”
Suara yang kukenali. Aku benar-benar sudah selamat. Hahaha aku akan dapat omelan. Maafkan aku Mama, kali ini aku rela dimarahi, karena aku tidak menyesal dengan pengalaman yang sudah kudapat. Tapi mungkin jika mendapat ajakan melakukan pendakian, aku akan berpikir dan terlebih dulu mengumpulkan banyak orang.

@@@














Empat..

Malam ini aku kesulitan tidur. Aku terus teringat pada perjalan tadi sore. Aku terus berusaha mengganti pemikiranku. Kubayangkan sesuatu yang lebih baik. Akbar, Akbar, dan Akbar. Tapi saat diam sejenak saja, aku kembali teringat pejalanan itu.
Kututup wajahku dengan bantal. Berkali-kali kuperbaiki posisi tidurku. Tubuhku sangat lelah, harusnya aku sudah bisa tidur nyenyak. Kuraih handphoneku, kutekan tombolnya dan foto Akbar dengan senyum manisnya sudah terpampang jelas. Kau membuatku tersenyum sayang. Mungkin aku akan lebih mudah tidur jika memerhatikan fotonya lebih banyak. Langsung saja kubuka galeri dan memilih folder yang berisikan foto-foto mengenai kami.

@@@

Gelap, gelap, gelap bersama jembatan yang rusak. Kakiku melangkahi bagian yang renggang, menginjak kayu jembatan yang masih bisa kuraih. Sekilas terlihat terjalan jauh ke bawah. Aku tersadar. Keringatku sudah membutir di sekujur jidat hingga leher. Kurasakan juga pakaianku sedikit lembab. Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku. Jika memang aku harus bermimpi untuk sesuatu yang baik, aku ikhlas. Namun jika mimpi buruk ini tidak berarti apa-apa, tolong berikan aku ketenangan dan hilangkan mimpi itu, Aamiin.
Langsung saja kucari handphoneku, kutemukan tidak jauh dari bantal. Kunyalakan dan kubuka pesan untuk Akbar, aku langsung mengetik cepat.

Selalu hampir mimpi, tapi terus nyadarin diri. Udah keringatan. Takut2.

Tidak lama kemudian handphoneku bergetar.

Mimpi apa?

Belum tau, tapi kalo tertidur dikit udah teringat goa.

Kamu udah sholat?

Ga sholat..

Oohhh ya udah berdoa aja terus lanjut tidurnya

Udah. Tunggu2 dulu keringat reda.
Ohahaha iya2 J
Kutenangkan diriku. Berdoa kemudian mengatur nafas pelan-pelan. Kembali kubayangkan Akbar, setidaknya cara ini juga efektif.

Dah mo coba tidur lagi. Tapi kalo aku terbangun lagi trus kamu belum tidur, smsku dibalas yah

Iya2. Tidur sana, jangan begadang.

Kucoba tidur. Bayangan itu masih ada. Tapi terus kuganti pikiranku dengan membayangkan Akbar. Judul untuk malam ini, wajahmu ikut menenangkanku.

@@@

Pagi yang cerah. Semalam aku berhasil tidur nyenyak. Terima kasih Tuhan. Semoga berikutnya aku tidak lagi cemas. Sekarang waktunya aku menemui sekolahku, seperti biasa aku diantar oleh ayah.

Hari Senin, seperti biasa untuk para pelajar Indonesia, kami upacara bendera di lapangan SMA Yudhistira. Aku berdiri di barasan kelas XII IPA 4–kelasku. Begitu pula dengan ketiga sahabatku, Amel, Tika, dan Yhuni. Kami berbaris secara berjejeran, paling depan adalah Tika, kedua Yhuni, ketiga Amel, dan terakhir di antara kami adalah aku sendiri. Aku memang suka berdiri di belakang Amel, karena aku sangat cocok dengannya, meski kami tidak duduk sebangku di kelas.
Sesekali kulirik barisan kelas Akbar, dia tampak gagah saat diam dan serius mengikuti upacara, juga tampak manis saat tersenyum karena candaan bersama teman-temannya. Oh sayang, panas tidak begitu terasa karena kesejukanmu.
Sepanjang upacara bendera dilaksanakan, ternyata tidak semanis memandang Akbar saja. Karena tiap beberapa menit selalu ada siswi yang jatuh pingsan kemudian digopong ke kelas yang paling dekat dengan lapangan upacara–ruang XI IPA 2. Dan beberapa saat kemudian jangan heran bila ada jeritan-jeritan histeris dari siswi-siswi yang tadinya pingsan. Aku yakin kalian bisa menebak apa yang terjadi dengan mereka. Yap! Mereka kesurupan.
Guru-guru biasa menenangkan siswi lain yang ketakutan dengan mengatakan kalau itu tidak disebabkan oleh roh halus, melainkan karena siklus udara yang panas menyebabkan mereka demikian. Tapi menurutku hanya orang-orang bodoh saja yang mau percaya. Eh, mungkin juga aku yang bodoh dan salah.
Kata mereka yang mengenal SMA Yudhistira lebih lama, sekolah tua ini dulunya merupakan bangunan di zaman penjajahan Belanda beberapa abad lalu. Hal itu terbukti dengan masih adanya bangunan sekolah ini yang merupakan peninggalan kolonial Belanda. Bangunan itu dilindungi pemerintah dan ada UU pelestariannya. Bangunan itu tidak boleh diubah bentuknya  apalagi di hancurkan.
Selain karena larangan pemerintah, juga karena berbahaya bagi ‘penghuni sekolah’. Mereka bisa marah dan mengganggu kami lebih dan lebih dari kesurupan yang biasa terjadi. Untung aku tidak pernah menjadi sasaran mereka.

@@@

“Pinjem sisir kamu dong, Sar…”, pinta Yhuni seusai upacari dan melepas topi abu-abunya–lambang palajar SMA.
Sari kemudian menyodorkan sisirnya pada Yhuni. Yhuni menerima itu dan langsung memperbaiki rambutnya dengan sisir yang dipinjamnya.
Sama seperti Yhuni, aku merapikan rambutku, tapi hanya dengan jari-jariku. Amel dan Tika juga demikian.
Seisi kelas tampak kegerahan seusai upacara bendera yang sudah seperti berjemur di terik sinar matahari. Ada yang sudah bercucuran keringat sampai menetes kemana-mana, ada juga yang biasa saja tanpa keringat namun wajahnya pucat. Yang berwajah pucat itu adalah salah satu dari siswi yang sakit. Biasanya orang yang sakit di sekolah ini akan mengepalkan tangan dengan sekuat-kuatnya dan terdiam sambil menatap tajam ke satu sisi. Kalau sudah demikian, jangan ada yang berani mengganggunya. Bisa-bisa dia mengamuk, karena roh jahat di dalamnya masih merisuki. Bila dibiarkan, lama-kelamaan dia akan sadar sendiri.
“Eh, liat Afni deh…, kayaknya dia masih kesurupan…”, ujar Tika.
“Ah, biarin ajah.. Dia juga ntar baikan lagi…”, responku cuek.
“Ihh…, aku takut ngeliat mukanya, sereeemm…!”
“Iih…, nyantai kali… Kayak kamu nggak pernah ngeliat dia gitu aja…”, ujar Amel.
Yhuni sendiri diam sambil terus menyisir rambutnya yang meski sudah rapi itu. Aku mengambil sebuah buku catatan, menuliskan apa yang terjadi saat itu dan sebelum-sebelumnya. Yap! Itu merupakan kebiasaanku. Mungkin bisa dibilang diary, tapi ini lebih terinci dan lebih lengkap. Ini juga tidak kutulis pada sebuah buku khusus, aku dapat menuliskannya di mana saja yang menurutku ada di sekitarku. Aku paling suka bila menulis di pohon atau di dinding yang luas. Lewat tulisan, aku bisa melampiaskan perasaanku saat itu. Kadang tulisanku yang ingin dibaca oleh orang lain, membuat mereka tidak mengerti. Sebab tulisanku seperti abstrak. Mereka biasa menyebutnya coretan anak TK, tapi aku hanya tersenyum sendiri.

@@@

Bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Guru mata pelajaran mengakhiri tugasnya. Kuselesaikan menulis sedikit materi, kemudian kututup bukuku.
“Haaahhh...”, aku menghela nafas sambil merenggangkan otot.
Tiba-tiba aku merasa ada yang aneh dengan punggungku, nyeri. Sebelumnya aku memang memiliki nyeri di titik itu, tapi tidak sampai senyeri ini. Mungkin karena kemarin aku kecapean.
“Kenapa?”, tanya Yhuni yang menyadariku sedang memijat titik punggungku yang nyeri.
“Ah nggak tau nih, ada nyeri hhe...”
Yhuni pun langsung memegangi punggungku yang sakit, dia menyuruhku membelakanginya dan langsung memijat. Astaga sakit tapi enak woooi.
“Ada bakat hahaha...”
“Ya soalnya udah biasa sama nyokap haha...”
“Aaahww!”

@@@


Fiuh…, pulang sekolah adalah saat yang membosankan menurutku, tanpa teman-teman di sekitarku. Dan itu babak kedua untukku kembali harus disiplin dengan aturan Ayah. Sebab babak pertamanya adalah tadi pagi.
Aku sudah menanti Ayah datang menjemputku. Aku berdiri di gerbang sudah sekitar 15 menit, tapi Ayah tidak juga muncul di hadapanku. Aku bisa saja menjadikan kesempatan ini untuk bersama Akbar, tapi dia tidak suka tinggal lama-lama di sekolah berduaan denganku. “Malu diliatin orang”, katanya. Hhaha..,  Akbar memang unik.
Lelah harus terus berdiri, aku memilih untuk duduk di batu besar depan gerbang yang memang sengaja dijadikan tempat duduk bagi pelajar yang menunggu. Rasa bosan sudah mulai mengusikku. Ingin rasanya aku bergegas pergi dari situ dan melakukan hal menarik lainnya. Tapi bila aku pergi, Ayah pasti akan marah karena aku tidak menunggunya. Aku ingin bersama teman-temanku, tapi mereka sudah pulang ke rumah masing-masing. Ada juga sih yang masih tinggal di sekolah karena mengikuti ekskul, tapi aku tidak mungkin meminta mereka untuk menemaniku.
Kupungut secarik kertas yang sudah menjadi sampah, tapi kertas itu belum terlalu kotor. Kertas itu kusobek-sobek hingga menjadi bagian-bagian kecil yang terbang ditiup angin. Aku mulai cemas, kurasa sudah lama sekali aku menunggu kedatangan Ayah. Aku ingin menelponnya, tapi handphone-ku low battery. Aku bingung, apa aku pulang sendiri saja?
Pandanganku tiba-tiba tertuju pada sebuah telepon umum yang tidak jauh dari gerbang sekolah. Aku ingin menelpon Ayah. Kubuka resleting tasku, mencari koin untuk menelpon. Tidak ada! Hmhhh… Aku kembali diam dan pasrah untuk menunggu lebih lama lagi.
Sepi, dan semakin sepi. Jalanan juga sudah sepi. Padahal ini jalan raya besar yang terletak di tengah kota. Yah…, aku sudah terbiasa dengan hal ini. Aku tidak lagi setakut dulu. Meskipun bangunan mistik ada di sampingku, tapi aku sudah terbiasa. Termasuk terbiasa bila ada hal-hal aneh yang tiba-tiba terjadi.
Kembali pandanganku terarah pada telepon umum yang tadi. Aku tergerak untuk segera kesana. Firasatku terus memaksa untuk mengecek kesana. Apa yang terjadi? Nanti lihat sendiri.
Aku sudah begitu dekat dengan telapon umum itu. Tiba-tiba telepon itu berdering pelan, aku mengangkatnya.
“Halo…”
“…”
“Halo?”
“…”
“Halo.. Siapa?”
“…”
Aku terdiam, sedikit takut. Sebelumnya aku tidak pernah mengalami hal ini. Pikirinku bingung, sejak kapan ada telepon umum yang menerima panggilan? Setauku hanya bisa melakukan panggilan. Angin mulai bertiup kencang. Terdengar ada suara mesin tak jauh dariku. Aku tidak berani menoleh, aku takut dan sangat takut. Aku terus saja diam, masih memegang gagang telepon.
“Ran…”
Seseorang memanggil namaku, titik beku di darahku hilang seketika dan kembali seperti semula. Suara itu kukenal, aku bahagia mendengar suara itu.
Kubalikkan tubuhku dengan lincah sambil tersenyum. Tapi…,
“Ayaaah…!!!!”. Teriakan histerisku menggema.

@@@

Ambulance membawa Ayah segera ke rumah sakit terdekat. Aku mengambil handphone Ayah dan segera menelepon ke rumah untuk memberi kabar duka ini.
“Assalamualaikum, halo?”ucap Kak Reyni ramah.
“Ini Rani, Kak…”
“Ohh…, Ayah udah jemput kamu kok, Dek…”
“Rani tahu, Kak…”
“Nah, terus?”
“Ayah, Kak…”
“Iyah…, Ayah lagi jemput kamu…”
“Rani tahu, Kak…”
“Ihh, kamu bikin Kakak bingung, Dek…”
“Ayah…,”. Aku terdiam, tak kuasa mengatakan apa yang terjadi. Kejadian barusan terus menakutiku.
“Dek…?”
“Kecelakaan.”
“Astaga! Dek, Ayah kecelakaan dimana???”
“Di sekolah...
“Ayah sekarang dimana?”
“Kakak ke rumah sakit aja langsung. Di rumah sakit dekat skolah…”
Telepon terputus.
Aku masih kaget dan sulit percaya dengan yang baru saja terjadi. Aku mulai takut untuk mengingat apa yang berhubungan dengan sekolah. Aku salah apa? Kenapa aku harus mengalami kejadian ini, maksudku Ayah, kenapa?
Ayah masih terbaring lemah dalam keadaan tidak sadarkan diri di tempat tidur rumah sakit. Beliau belum boleh dipindahkan dari UGD. Kayu tajam yang menusuk pinggangnya membuat kondisinya kritis. Beliau hendak di operasi tapi setelah Mama datang dan menandatangani surat izin pengoperasiaanya.
Aku hanya bisa membisu melihat kondisi Ayah demikian. Aku tidak menangis, tidak cemas seperti orang lain. Tapi aku sedih. Ayah yang sakit dan ditusuk kayu tajam dan besar, seperti aku yang merasakan sakitnya.

@@@

Dokter dan perawat sibuk mondar-mandir dan keluar masuk depan ruang operasi. Ayah akan segera bertemu dengan manusia serba pakaian hijau sebentar lagi. Membayangkan kata operasi saja membuat sebahagian orang ngeri, dan aku juga yakin akan seperti itu dengan kondisi Ayah.
Aku masih ingat senyum Ayah yang selalu mengejek setiap kali aku salah memakai seragam ke sekolah. Kadang aku memakai seragam sekolah Kak Reyni. Soalnya sama-sama putih abu-abu. Aku dan Kak Reyni memang sama-sama kelas XII SMA karena aku cepat masuk sekolah.
Tadi pagi, beliau menertawaiku dengan kesalahan itu. Aku memasang wajah masam karena tidak terima harus ditertawakan. Hhhh… Aku tidak bisa membayangkan bila itu sebagai yang terakhir dari Ayah dan aku. Tapi firasatku masih berkata kalau Ayah tidak akan meninggalkanku secepat ini.

@@@

Akbar meneleponku, dia kaget setelah mendengar kejadian Ayah. Dia menyesal tidak menemaniku tadi siang. Aku mengeluarkan keluh kesahku pada Akbar. Bahkan aku sampai tak kuasa, dan membiarkan air mataku mengalir. Akbar mengerti dan berusaha menenangkanku dengan suara lembutnya. Itu juga salah satu kelebihan Akbar. Dia bisa jadi sangat lembut saat menenangkanku. Padahal sebenarnya dia orang yang cukup sering berbicara dengan nada tinggi. Aku sendiri kadang heran mengapa dia bisa bersikap demikian. Tapi aku bangga padanya. Dia memang pacar yang baik, so kind.
“Aku ngerti apa yang kamu rasa sekarang, tapi kamu nggak boleh down... Ini cobaan, harus diikhlasin... Aku tau kamu kuat, dan akan lebih kuat karena aku akan selalu ada dampingi kamu...”
Kalimat Akbar memang sederhana. Tapi setiap perkataannya sangat meyakinkanku. Dia tidak hanya mengutarakannya, tapi dia lebih kepada pembuktian tindakannya. Bukankah itulah yang dilakukan orang hebat?
“Hmm, kamu tau nggak sekarang apa yang ada di pikiran aku?”
“Apa?”, tanyaku penasaran.
“Bayangin muka murung kamu yang mirip monyet! Hahahah...”
“Iiiihh appaan sih siapa yang murung juga!”
“Halaahh ngakuu!!”
“Enggak.”
“Kamu nggak bisa bohong sama aku... Kamu mah kalo udah terlanjur kepikiran pasti bakal kepikiran terus..”
“Yeee tau ahh, jangan sotoy deh...”
“Aku gak mau soto, gimana kalo Nasi Goreng aja?”
“Akbaaarr!!”
“Hahahah tapi emang bener, aku mau makan Nasi Goreng...”
“Ya udah makan aja...”
“Gak jadi tapii... Soalnya aku masih mau sama kamu...”, kali ini dia bermanja. Aku pun lumayan terhibur.
Aku terdiam. Aku ingin membuang rasa trauma, tapi aku tak kuasa melakukannya. Akbar benar, tidak ada gunanya aku seperti ini. Malah ini sama dengan pembodohan! Aku juga tidak bisa berteriak di telepon. Aku mengambil buku catatanku dan menuliskan apa yang ingin kutulis. Semua kejadian yang mengganggu hidupku, kutuang dalam tulisanku. Meski kadang ada beberapa tulisan yang aku sendiri tidak mengerti maksudnya. Aku tidak peduli. Aku hanya bisa melakukan ini, setidaknya ini membantu menenangkanku. Karena masalah tidak akan kubiarkan untuk mematikanku.
Hhh… hari yang melelahkan. Malam aku benar-benar ingin istirihat cepat. Tikar ini terasa sangat empuk bagiku. Aku pun membaringkan tubuh, Akbar sudah menyuruhku tidur. Dia benar, aku harus tidur sekarang.
Akbar tidak menutup teleponnya, ia menemaniku tidur seperti biasa. Meski hanya melalui telepon, aku merasa nyaman dan tenang. Kau benar-benar hebat sayang. Tapi malam ini dia tidak menyanyikan lagu, dia hanya diam sampai aku tidak tahu lagi apa yang dilakukannya.
Selamat malam sayang..
@@@













Lima..

Ke sekolah. SMA Yudhistira yang memberi duka bagi keluargaku. Aku merasa tidak takut lagi untuk menatapnya dengan tajam. Aku yakin bangunan itu bernyawa, dan meski dia sempat membuatku takut, tapi tidak untuk kali ini. Dia memang sudah berhasil kemarin, tapi itu hanya sesaat. Aku yakin akan menang melawan bangunan tua itu. Dia hanyalah bangunan tua yang sudah semakin tua dan sebentar lagi mati.
Aku melangkahkan kaki menuju kelasku. Kulihat Amel sudah jingkrak-jingkrak melihatku datang. Sepertinya dia ingin sekali menceritakan sesuatu padaku. Aku pun mempercepat langkahku namun tetap berhati-hati.
“Rani…!!!!”
“Yah? What happened??
“Iih…, kok gitu sih… Sini deh, ada yang mau gue kasih liat…”
Amel menarik tanganku, kami menuju toilet siswi. Ternyata Amel memperlihatkan kalungnya yang berleontin setengah hati. Aku sudah bisa menabak apa yang akin dietitian Amel padaku. Pasti Bayu memberinya kalung itu. Bagus, aku senang melihatnya. Amel nampak sangat bahagia. Dia menceritakan semua yang terjadi dengannya kemarin siang sewaktu bertemu dengan Bayu–sang pacar.
Aku dan Amel kembali ke kelas. Amel terus saja tersenyum bahagia. Tapi seperti ada yang sinis pada kebahagiaan sahabatku  itu. Aku yakin itu dia. Dia mungkin tidak senang melihat orang di sekitarku bahagia.
Saat di kelas, aku duduk di sebelah Yhuni. Dia sibuk menyalin PR Sari. Aku lupa hari ini ada PR. Cepat-cepat aku keluarkan buku tugasku. Aku ikut menyalin PR milik Sari–sama seperti Yhuni.
Tiba-tiba aku melihat Akbar seperti berteriak dalam bahaya. Aku mengucek mataku, penglihatan itu menghilang. Sosok Akbar saja tidak ada di hadapanku. Hanya ada Amel yang masih memegang kalungnya sambil terus tersenyum.
Firasat mulai tidak enak. Aku terus kepikiran dengan penglihatanku barusan. Hhh…, dia, pasti ini ulah dia. Selalu saja menggangguku. Aku meraih handphone dari kantong seragamku. Kutelepon Akbar untuk memastikan keadaannya.
“Kamu dimana?”
“Di kelas. Kok nelvon?”
“Ah nggak pa-pa kok... Kamu baik-baik yah...”
“Hah?”
“Nggak sayang. Udah yah daah...”
Syukur dia baik-baik saja. Aku lega dan kembali menyalin PR.

@@@


Coretan tangan. Di kertas itu ada sebuah kalimat. Mungkin baru dimengerti bila sudah membacanya. Hhhh… Ayah masih di rumah sakit. Mama tidak kerja hari ini karena harus menjaga Ayah. Kami sekeluarga masih tinggal sementara di rumah sakit. Ayah belum juga sadar dari komanya. Beliau masih sekarat.
Siang itu harusnya aku sudah ada di tempat kursus bahasa Inggris. Tapi aku izin tidak datang. Alasanya sudah jelas. Selama Ayah sakit, aku jadi sibuk. Tidak ada waktu santai di sore hari seperti biasanya.
Tiba-tiba handphone-ku bergetar, Akbar yang menelepon.
“Halo ?”
“Halo.. Lagi dimana ?”
“Di rumah sakit..”
Kami terus bercerita mengahabiskan waktu siang itu. Dia menemaniku, menghiburku, dan memanjakanku dengan suaranya yang memang selalu kuinginkan. Dia sosok laki-laki yang kuinginkan, kekurangannya hingga saat ini bukan masalah bagiku. Bahkan aku merasa itu bukan kekurangan kalau bukan orang lain yang mengatakannya padaku. Malah bagiku dia begitu sempurna, sempurna karena cinta yang dia berikan kepadaku. Bahkan cinta itu membuatku tak sanggup mengelak betapa derasnya rasaku berkembang untuknya. Sementara kelebihannya tak bisa kuungkapkan, dia selalu bisa menenangkan hatiku meski hanya mendengar suaranya atau melihat fotonya. Apalagi kalau sudah bertemu dengannya, rasanya aku seperti jadi manusia yang paling beruntung. Serasa tidak punya beban, masalah, dan yang pasti aku ingin selamanya bersamanya.

@@@

Aku berjalan mengikuti arus angin di SMA Yudhistira. Angin ini seakan mengajakku berkomunikasi. Hembusannya seakan memperingatiku untuk menyerah dan menakutiku. ‘Hheyy !! Apapun tindakanmu, aku tidak akan menyerah !’, seruku dalam hati.
Tiba-tiba angin berhembus semakin kencang berlawanan arah dengan jalanku. Aku sedikit terganggu karena rambutku harus terkibas dan jadi berantakan, juga kulitku yang mendadak dingin. Amel yang sedari tadi melihatku dari kejauhan langsung datang menghampiriku begitu melihat kecelakaan kecil ini.
“Ranii…, lo kenapa ? Kok gini ? Nggak ati-ti sih lo ! Uhh, apes bangeet…”
“…”, aku diam sambil merapikan rambutku. Aku masih kepikiran tentang semua abiotik yang ‘bernyawa‘ di sini.
Amel lalu menarikku ke kelas dan berbicara banyak. Bisa dibilang dia curhat, bisa dibilang juga dia mengajak bercanda. Tapi aku hanya meresponnya dengan senyuman meski sebenarya aku juga ingin tertawa seperti dia bila aku bisa.
Aku belum mengabari sahabatku tentang kecelakaan Ayah. Aku hanya diam ketika ditanya kenapa aku tidak dijemput sepulang sekolah. Atau kadang aku mengatakan bahwa, aku ingin melanggar, Ayah sedang sibuk, atau alasan-alasan normal lainnya yang biasa dikatakan orang-orang. Ada enaknya juga tidak dijemput Ayah, karena Akbar bisa mengantarku pulang. Jadi aku bisa melupakan masalahku dengan memeluknya saat digonceng.

@@@

Sepulang sekolah, hari ini aku tidak singgah ke rumah sakit. Aku merasa kurang enak badan. Aku hanya berbaring lemas di kamar. Aku sendirian di rumahku yang bisa dibilang lumayan besar, karena orang rumah semua sedang di rumah sakit.
Handphone bergetar, kulirik sekilas, aku malas sekali mengangkatnya. Jadi kubiarkan saja begitu. Tapi handphone-ku bergetar terus tanpa henti. Aku cukup kaget, mengapa ada telepon yang tidak mau terputus pedahal sudah beberapa menit. Biasanya kan akan berhenti dengan jawaban ‘no answer’ dari operator. Kuputuskan untuk mengeceknya dengan perasaan sedikit gugup. Kulihat layar handphone-ku, tidak ada namanya, tidak ada nomornya. Yang tertulis hanya ‘nomor tidak dikenal’. Aku mengernyitkan kening, “siapa sih?”, batinku.
“Halo ? ”, kataku saat mengangkat telepon.
“…”, tidak ada suara.
“Halo, ini siapa ?”, tanyaku bingung.
“…”. lagi-lagi tidak ada suara.
Tiba-tiba aku teringat pada telepon umum yang kuangkat tempo hari, sama-sama tidak ada suara dari si penelpon yang aneh. Firasatku seketika mengatakan hal buruk. Segera kumatikan telepon dan kulihat sekelilingku, tidak ada apa-apa !
Aku bangkit dari tempat tidurku, kuambil pemukul dari belakang pintu kamarku. Mataku melirik ke segala arah, kali ini aku merasa ketakutan merisukiku. Keringatku bercucuran di sekujur tubuhku, nafasku tersenggal-senggal, aku berjalan dengan sangat hati-hati.
Handphone-ku kembali bergetar, aku tidak berani mendekatinya. Kubiarkan saja dia bergetar di tempat tidurku. Aku benar-benar takut. Hingga akhirnya telepon itu terputus dengan sendirinya.
“Hhhh…”, aku menghela nafas saat tak ada hal buruk yang terjadi.
Dengan yakin tapi tetap gugup, kuraih handphone-ku. Ku cek panggilan tak terjawabnya, ternyata dari Akbar. Akupun segera meneleponnya kembali. Tapi hasilnya nihil, tidak ada jawaban.
Aku kembali cemas, perasaanku tidak enak. Aku terus teringat pada Akbar. Pori-pori kulitku kembali berair. Aku keringat dingin! Entah mengapa bayangan Akbar memenuhi benakku. Sampai kuberanikan diri untuk ke rumahnya.

@@@

Akbar terbaring lemah di rumah sakit setelah terkapar di depan rumahnya dengan handphone di tangan. Aku memandangi wajahnya dengan sayu. Pikiranku hening, aku tidak mampu berpikir apa-apa saat ini. Aku juga lelah, aku masih butuh istirahat lanjutan dari yang di rumah tadi.
Kuperiksa handphone-ku, ada panggilan tak terjawab dari nomor telepon rumahku. Wajar memang, sebab sekarang sudah malam. Mereka pasti mencariku. Kutelepon Kak Reyni dan kuberitahu yang terjadi. Tapi aku tetap disuruh pulang. Keluarga Akbar juga sudah menyuruhku untuk pulang. Jadi dengan terpaksa aku meninggalkan Akbar yang fisiknya begitu lemah saat ini. Maafkan aku sayang, aku harus pergi, tapi aku tidak meninggalkanmu. Aku masih bersamamu, menemanimu beristirihat hingga kau membuka mata dan tersenyum padaku dengan penuh kehangatan.
Sesampai rumah, langsung kubaringkan tubuhku. Nyeri di punggungku terasa sangat mengganggu. Mengapa nyeri ini tidak juga hilang dan malah semakin sakit. Sudahlah, aku butuh istirahat. Sekilas Akbar muncul di pandanganku, lalu gelap. Saatnya tubuhku merasakan peregangan.

@@@










Enam..

Aku berpikir keras hari ini. Kukaitkan semua hal buruk yang terjadi akhir-akhir ini padaku dan orang-orang yang kusayangi. Telepon aneh, Ayah, Akbar, dan komunikasi bodoh dengan abiotik di sekolah.
Aku pun merasa aneh pada diriku sendiri. Aku merasa kalau kecelakaan Ayah dan Akbar disebabkan olehku yang aneh ini. Tapi aku sendiri tidak berharap seperti ini. Aku ingin kembali normal seperti orang lain. Aku telah lelah dengan semua permainan ini yang entah siapa yang menciptakannya. Aku tidak percaya kalau aku memang begini, buktinya dulu aku hidup bahagia saja dengan orang-orang di sekitarku. Entah sejak kapan ini dimulai, dan kapan ini akan berakhir. Aku menjalaninya terus tanpa tahu harus kemana lagi arahku melangkah. Aku baru sadar, aku sudah serakah. Dulu aku begitu menikmati kehidupanku, mengapa malah kukatakan hidupku membosankan. Kini, kenyataan pahit bermunculan, apa aku sudah puas? Iya, aku sudah puas dengan segala gejolak kehidupanku akhir-akhir ini. Tapi mungkin lebih tepatnya aku muak. Aku sudah muak. Mengapa harus orang-orang yang kusayangi ikut mendapat karma dari perkataanku? Mengapa tidak cukup aku saja yang merasakannya. Tapi memang benar, aku lebih sakit jika mereka yang merasakannya. Aku lebih sakit menyaksikan mereka jatuh di depan mataku, ketimbang pingsan berhari-hari dan  tidak merasakan apa-apa di bawah biusan.
Sejak saat itu juga, Mama dan Kak Reyni mulai mengawasiku dengan ketat. Mereka juga merasakan hal yang sama denganku, mereka secara mau tidak mau merasa kalau aku menjadi aneh. Mereka takut kalau aku kenapa-napa. Aku maklum dengan pernyataan itu, karena memang itu yang terjadi. Teman-teman selalu bertanya ada apa denganku, tapi aku hanya mengangkat pundak. Aku takut kalau mereka akan meninggalkanku setelah kuceritakan semua yang terjadi. Aku takut mereka menghindar karena bisa menjadi korban selanjutnya. Maafkan aku atas keegoisanku ini. Ini sungguh bukan kemauanku, meski aku tidak bisa menjamin keutuhan kalian berada di dekatku.
Tempo hari, Ayah sudah keluar dari rumah sakit, begitupun Akbar. Tapi Ayah masih harus banyak istirihat di rumah. Sementara Akbar, syukur Alhamdulillah dia sudah sehat. Dia masih memperlakukanku dengan baik meski dia tahu semua yang terjadi. Dia tidak takut kepadaku. Malah dia selalu mendampingiku dan lebih sering menghubungiku untuk memastikan aku baik-baik saja. Lagi-lagi kau membuatku bersyukur memilikimu sayang. Entah apa yang sudah kulakukan untukmu, hingga membuatmu begitu mengasihiku. Usia kita masih begitu dini, tapi kau sudah mengajarkanku banyak hal untuk mencintaimu.
Sejak mereka menjagaku lebih ketat, aku merasa aman. Aku sudah jarang diganggu oleh abiotik bodoh. Mungkin mereka takut hahaha. Aku sangat berterima kasih pada semua yang begitu baik padaku. Mereka begitu tulus bersamaku di suka dan dukaku.

@@@

“Raan…!”, panggil Kak Reyni.
“Iyaah.. Bentaran dulu, Kak…”, jawabku.
Hari-hari ini setiap kali ke sekolah aku selalu bersama Kak Reyni meskipun sekolah kami beda jalur. Tapi Kak Reyni tidak mempermasalahkannya, Kak Reyni dengan setia menggoncengku di atas motor matic kesayangannya. Agar tidak terlambat sampai sekolah, kami harus berangkat jauh lebih awal dari biasanya.
Ayah belum bisa mengantarku sebab beliau masih harus istirihat. Kalau Mama mau tidak mau harus meninggalkan Ayah sendirian di rumah untuk kerja. Untung juga Mama seorang guru, jadi kerjanya tidak full seharian. Di jam-jam kosongnya mengajar di sekolah, Mama selalu pulang untuk mengecek Ayah di rumah.
“Kak, sepulang sekolah Rani ada kerja kelompok di rumah temen…”
“Ohh gitu… Ya udah, kamu SMS alamatnya aja, nanti Kakak jemput…”
Kak Reyni melaju dengan kecepatan sedang. Kalau pagi-pagi, keadaan kota tidak mecet. Udara juga masih segar, sekaligus bisa menikmati perjalanan matahari yang naik.
Akbar tidak bisa menjemputku, aku juga tidak enak kalau harus merepotkannya dengan datang pagi-pagi ke rumah untuk menjemputku ke sekolah. Dia sudah terlalu baik, aku tidak ingin memanfaatkan kebaikannya itu hingga membuat sesuatu yang buruk. Sebab dia orang yang agak sulit bergegas kalau subuh. Kalau bangun sekitar jam 5, dia hanya sekedar Sholat Subuh kemudian tidur-tiduran lagi. Barulah sekitar jam 6 pagi dia bangun untuk bersiap-siap ke sekolah. Kalau aku minta dia menjemput, dia pasti kerepotan. Aku tidak mau dia jadi repot setelah sebenarnya dia memang terlalu repot dengan kebaikannya padaku. Dia sudah terlalu baik padaku, membuatku kadang bingung apa yang harus kulakukan untuknya. Aku hanya bisa mencintainya.
Aku suka dia, sayang dia, dan mencintai dia. Aku tidak tahu apa yang sangat menonjol pada dirinya yang membuatku suka padanya. Aku tidak tahu kenapa aku menyayanginya meski kadang dia membuatku menangis. Aku tidak tahu kenapa aku begitu mencintainya dia. Dia tidak begitu tampan, tidak banyak harta, tidak begitu pandai pelajaran, tidak begitu berani sebagai seorang laki-laki, tidak begitu keren, tapi itu bagi mereka. Bagiku dia begitu manis, karena senyumnya yang tertulus untukku. Dia begitu kaya karena tidak pernah sulit ataupun ragu dalam berbagi banyak hal padaku. Dia begitu cerdas karena mampu menjadi pundakku bagaimanapun kondisiku. Dia begitu gentle karena tahu apa yang harus disikapinya. Dia begitu keren karena tindakannya membuatku berdecak kagum dan bangga memilikinya. Dan satu yang membuatku sangat bersyukur. Kalian sudah tahu itu.

@@@

Keesokan harinya, aku beranikan diri ke toilet sendirian. Biasanya aku tidak berani karena toilet di sekolah cukup menyeramkan. Aku sudah tidak tahan akan panggilan alam ini. Tapi ketika kubuka pintunya, --.
“Raaaniii, Raniii !!”, jerit Amel membuatku sadar dari tidurku. Atau lebih tepatnya pingsan.
Begitu membuka mata, terlihat samar-samar sesuatu bayangan yang secepat kilat menghilang. Aku sempat terhentak kaget namun aku tidak bisa berteriak. Suaraku seperti hilang. Kulihat Amel sibuk mengipasiku. Aku ketakutan. Orang-orang mengelilingiku. Akbar ada di salah satu dari mereka. Aku ingin mengatakan yang kurasakan padanya. Aku sangat ingin berbicara sekarang. Tapi menapa mulutku tidak bisa berkata-kata? Apa aku bisu? Tidak! Tapi aku benar-benar seperti orang bisu. Tubuhku bergetar. Aku sangat merasakannya dan aku tidak bisa mengendalikannya hingga aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. ‘Akbaaar!!’ aku sudah berteriak memanggilnya, tapi dia tidak bisa mendengarku. Aku benci ini. Aku bangkit, tapi mengapa tubuhku masih terbaring. Padahal aku sudah duduk di hadapan Akbar dan berteriak di hadapannya. Sekali lagi aku sangat membenci ini.
Aku kembali tersadar. Tapi kini tidak ada orang yang kulihat mengelilingiku seperti tadi. Aku sudah terbaring di tempat tidur. Tapi bukan tempat tidurku. Kulihat ke sekeliling ruangan, ini kamar pasien. Aku pun sadar kalau aku sedang di rumah sakit. Aku mencoba berbicara, “aaa…”, aku bisa! Aku tidak bisu.
“Ayaah…”, panggilku mencari Ayah.
Aku heran mengapa hanya aku sendirian di kamar ini. Kucoba bangkit dan duduk di tempat tidur, badanku terasa pegal-pegal. Kepalaku sedikit sakit. Kemudian kuraih handphone-ku di saku rok seragam sekolahku. Kuhubungi Ayah, lalu kuhubungi Akbar. Tapi Akbar tidak mengangkatnya. Ku SMS saja, kutunggu balasannya.
Tidak lama kemudian Ayah datang. Ayah ternyata habis menemui dokter. Tapi katanya aku tidak apa-apa. Hanya saja yang membuatku kaget, ternyata aku sempat dirasuki sewaktu di sekolah. Aku sempat tidak menyangka itu benar-benar terjadi. Sejak kapan aku dirasuki? Mana mungkin! Kejadian itu hanya menimpa orang-orang yang mencari masalah dengan ‘mereka’. Memangnya apa yang sudah kuperbuat? Tapi setelah mendengar penjelasan ayah secara detail, aku baru percaya. Ditambah lagi bukti luka-luka kecil di beberapa bagian tubuhku yang menandakan pemberontakanku tadi. Tapi kata Ayah aku sudah bebas. Aku bersyukur akan itu. Aku tahu karena seharusnya memang aku bebas.
Tiba-tiba handphone-ku berdering, Akbar! Teeett..
“Kamu kenapa? Udah baikan?”
“Ah? Kamu kok tau?”
“Amel ngasih tau... Aku lagi di jalan ke sana... Makanya tadi nggak sempat angkat telvon...”
“Oohhh... Hmm nggak usah, aku udah baikan. Ini udah mau pulang sama Ayah...”
“Hmm kalo gitu aku ke rumah kamu yah...”
“Terserah kamu, tapi aku emang udah nggak pa-pa...”
“Ohh ya udah, kamu istirahat aja kalo gitu...”
“Oke sayang... Kamu pulang aja nggak pa-pa?”
“Nggak pa-pa, nggak enak juga sama ayah kamu... lagian masih di sekitar komplek rumah kok... Udah yah, aku bawa motor...”
“Oke, makasih sayang...”
Teeett...

@@@

Hari ini sebenarnya aku tidak mau masuk sekolah dulu karena luka di tanganku masih sakit. Tapi hari ini ada ulangan Matematika. Aku tidak mau kalau mesti ikut ulangan susulan. Kalau ulangan sendiri ‘kan tidak bisa kerja sama hihi :D Harus kuakui, aku memang tidak termasuk siswi teladan yang pintar pelajaran. Tapi aku juga tidak termasuk siswi yang bobrok dan bodoh. Aku masih berusaha jadi lebih baik dan mengerjakan tugasku sebagaimana mestinya.
Kupandangi sekolahku lebih tajam, aku sudah merasa lebih baik. Tapi aku masih gemetar. Aku sedikit shock dengan perbuatan si sekolah tua ini padaku. ‘Hey, apa lagi ini? Baiklah, aku mengalah. Sekarang aku minta kebebasan darimu. Jangan ganggu aku lagi!’. Dengan sedikit emosi aku melangkah memasuki sekolah. Kulihat ke sekeliling,  beberapa pasang mata memperhatikanku dengan sembunyi-sembunyi. Aku sedikit risih. Tapi aku berusaha cuek dan mempercepat langkahku menuju kelas.
Hal yang sama. Sepertinya seisi sekolah memperlakukanku bagai makhluk asing. ‘Apa karena kejadian kemarin? Apa sebenarnya yang terjadi? Kesurupan di sekolah ini bukannya hal biasa? Afni juga kalau kesurupan selalu memberontak. Jadi kenapa harus begini perlakuan kalian?’ batinku bertanya-tanya .
Aku menoleh pada Amel. Tapi dia bersikap biasa saja. Padahal biasanya dia sudah heboh menarikku duduk di bangku lalu berceritera ria. Kemudian aku memerhatikan Yhuni, tapi dia sibuk menyalin PR. Aku pun hanya duduk di bangkuku dengan perasaan sedikit kesal.
“Kalian kenapa sih?”, tanyaku memulai pembicarian.
“Eh Yhun.., kalo udah selese kasih ke Sari katanya...”, ujar Amel pada Yhuni.
“Woii!! Kalian kenapa sih? Gue jangan dikacangin kek!!”, ujarku protes.
Mereka tetap diam. Membuatku kesal. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin mereka marah, pikirku. Semoga besok semuanya akan kembali seperti semula. Hanya saja aku masih penasaran, apa sebenarnya yang terjadi.

@@@












Tujuh..

Hari ini akhirnmya aku bisa bernafas lebih lega. Karena masalah-masalah yang paling menggangguku sudah akan selesai. Aku hanya tinggal menunggu waktu untuk kepulihan Ayah. Aku duduk santai di teras rumah sambil memandangi bunga-bunga cantik berwarna-warni yang sudah ditanami oleh tangan Mama.
            Aku merasa agak sepi, kuperiksa handphone-ku, biasanya sudah ada SMS atau telepon tidak terjawab. Tapi begitu layar menyala, ternyata tidak ada apa-apa. Satu yang kucari, Akbar. Mengapa dia tidak menghubungiku? Padahal aku tidak mengecek handphone seharian ini. Hmm.., mungkin dia sibuk atau tidak ada pulsa. Kuputuskan untuk menghubunginya, tapi yang terdengar hanya nada datar, tidak ada jawaban. Kuletakkan kembali handphone-ku, mungkin dia tidur.

@@@

Hujan deras. Tidak ada lagi keramaian anak-anak tetangga yang bermain di depan rumah mereka. Juga tidak ada suara ibu-ibu yang sibuk ‘nongkrong’ dengan berbagai bahasan mereka yang entah dimana letak menariknya. Mungkin aku baru bisa mencap bahasan itu menarik saat aku sudah menjadi ibu-ibu. Tapi aku berharap kelak aku tidak akan menjadi ibu rumah tangga kurang kerjaan seperti mereka.
Kubasuh rambutku dengan handuk, aroma shampoo dan sabun yang segar menyatu dengan udara dan tercium olehku. Aku mengintip ke jendela, hujan benar-benar deras. Padahal belum cukup sejam yang lalu, langit masih memancarkan kecerahan birunya.
Kuhampiri handphone-ku di tempat tidur, kuperiksa dan ternyata tidak ada apa-apa selain fotoku bersama Akbar sebagai wallpaper. Kuletakkan kembali handphone-ku, kemudian kubuka lemari pakaian, mengganti handuk yang menyelimutiku menjadi pakaian yang lebih pantas kukenakan. Kaos putih  dengan rok kain berwarna merah muda selutut. Aku yakin Akbar akan senang jika melihatku. Meski dia tidak pernah mengatakannya langsung, tapi aku tahu kalau dia menyukai sisi feminimku. Yaaahhh..., walaupun sebenarnya aku lebih cenderung cuek. Tapi aku malah ikut menyukai sisi feminim ini karena Akbar. Aku menyukai apa yang dia sukai dariku, atau mungkin lebih tepatnya aku menyukai apa yang dia suka dan karena dia menyukainya. Ada yang bilang cinta itu apa adanya, tapi aku tidak pernah merasa terpaksa ataupun berkorban saat aku melakukan apa yang disukainya. Aku justru merasa bahagia ketika aku berhasil membuat goresan senyum di bibirnya yang manis itu. Entah mengapa dia begitu manis, mungkin orang tuanya punya pabrik gula. Hahaha ada-ada saja. Dia benar-benar sudah masuk di dalam diriku. Dasar bodoh!

@@@

Kembali lagi aku ke sekolah ini. Kuhembuskan nafas panjang sebelum melangkah melewati gerbang. Aku berharap akan mendapatkan keberuntungan hari ini, terutama dari sekolahku ‘tersayang’ (meski sedikit memaksa).
Kulihat Amel terlebih dahulu memasuki sekolah, aku pun sedikit berlari mengejarnya. Kukagetkan dia dari belakang, tapi dia tidak mencerminkan sikap yang kuduga. Dia hanya diam dan menatapku sekilas kemudian berlalu. Aku membisu. Sudah sejak kemarin sikapnya seperti itu. Ada apa sebenarnya? Aku menoleh ke sekelilingku, semuanya bersikap sama. Tidak ada yang memperdulikanku, sekalipun aku sudah menyapa dengan sangat ramah. Apa-apaan ini? Satu per satu kuhampiri mereka yang kukenali, ‘kenapa diam aja? Kenapa’, tapi mereka tetap diam. Membuatku kesal.
Kucari handphone-ku di tas. Begitu kudapati, aku langsung menghubungi Akbar. Tapi masih juga tidak terjawab. Kali ini aku benar-benar merasa ada kejanggalan. Aku tidak langsung menuju kelasku, melainkan membelok ke kelas Akbar. Kulihat dia santai dengan bacaannya.
“Akbar!!”
Dia tidak menoleh sedikitpun. Kuulangi sekali lagi, tapi dia masih tidak menoleh. Kuhubungi dia, kulihat dia meraih handphone-nya, menatap ke layar sejenak, tapi dia menaruhnya kembali. Hanya menghela nafas kemudian kembali membaca. Ada apa? Kukirimi pesan padanya, tapi dia tidak merespon sama sekali. Kuputuskan memasuki kelasnya, menghampirinya.
“Akbar!”
Aku sudah berdiri di hadapannya, tapi dia masih diam menikmati bacaannya. Dengan kesal aku langsung merebut bukunya, dia pun menoleh padaku. Tapi tatapannya begitu berbeda. Itu bukan tatapan untukku! Aku mungkin sudah salah orang, tapi dia memang benar-benar Akbar.
“Kamu kenapa?”
Akbar hanya diam. Kemudian merebut kembali bukunya dari tanganku. Yang ada kini dia tampak kebingungan. Sungguh, sikapnya membuatku tidak mengenalinya. Bertahun-tahun aku bersamanya, dia tidak pernah bersikap demikian sedetikpun kepadaku. Ini salah, salah besar!
“Akbar!!”
Akbar malah menunduk, aku menoleh pada sekitarku, tidak ada yang memperdulikanku. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan untuk sekedar menoleh pun, mereka enggan. Ada apa ini? Apa yang sedang terjadi? Aku pasti mimpi buruk! Mimpi yang sangat buruk! Aku ingin bangun, aku tidak suka dengan semua ini. Menapa aku kembali diganggu? Apa salahku? Apa yang sudah kulakukan? Apaaa?!!! Aku berteriak. Aku keluar dari kelas Akbar dengan membanting pintu. Aku berjalan dengan penuh emosi, hingga kepalaku memanas, dan mataku tak kuasa lagi menahan air mata yang sudah mendesak keluar ikut memberontak bersama perasaanku saat itu.
Aku berlari menuju toilet. Begitu memasuki toilet, kubanting pintu dan kupandangi diriku di cermin besar di hadapanku. Sosok perempuan yang kini ada di hadapanku tampak begitu asing, aku tidak mengenalinya. Wajah pucat dan lembab, rambut berantakan, kantung mata, dan bibir yang sudah tidak secerah biasanya. Mengapa aku harus menangis? Kutukan apa yang sedang menimpaku?! Aku ingin keluar! Tuhan, cobaan apa ini? Apa yang sedang menimpaku? Apa yang sudah kuperbuat? Kesalahan apa yang sudah kulakukan sehingga membuatku dihukum seperti ini? Aku benar-benar lelah. Baru sehari aku merasakan kebebasan, tapi ternyata ini semua belum berakhir. Apa ini masih akan terus berlanjut? Mereka tidak mengenaliku, begitu pula dengan Akbar! Jangan bilang keluargaku juga akan bereaksi sama setelah ini? Tidak! Ini tidak nyata! Ini tidak masuk akal!! Ini tidak mungkin terjadi padaku! Aku mengoceh seorang diri, hingga emosiku terkontrol oleh masuknya siswi lain ke toilet. Tapi dia hanya masuk, tidak menoleh ataupun menegurku. Aku seperti tidak ada di tempat itu. Aku tidak tahu hal ini sepantasnya disebut apa. Aku tidak mengerti sama sekali.
Aku keluar dari toilet, kupandangi satu per satu sisi di sekitarku. Sebenarnya siapa yang aneh? Aku atau mereka? Mereka seolah tidak melihatku. Hahaha mungkin aku berbeda wujud dari biasanya seperti pada film-film fantasi. Benar, ini mimpi yang seru. Pemikiranku berkecamuk. Mengarang sesuatu yang tidak masuk akal demi menenangkan diri. Aku mulai bisa menikmatinya. Aku bisa berbuat semauku, tapi mereka tidak akan tahu apa-apa.
Aku berjalan menuju kelasku. Kupandangi sahabat-sahabatku, Amel, Yhuni, dan Tika. Mereka sibuk menyalin PR seperti biasa. Aku menoleh pada yang lainnya. Tapi kudapati Afni tersenyum kepadaku. Aku tidak suka senyumannya. Senyumannya tidak senada dengan tatapan matanya. Kupalingkan wajah darinya, tapi apa hanya dia yang bisa meresponku? Aku sedikit heran, lalu aku duduk di bangkuku
“Haii...”, kusapa sahabat-sahabatku sambil tersenyum, berusaha bersikap normal.
Tidak ada yang membalas. Bahkan untuk menoleh pun mereka enggan. Tidak apa, aku yakin nanti akan bangun dan semua akan kembali seperti semula. Kuambil handphone-ku, kumainkan game yang ada, meski tidak seseru game online. Aku hanya bingung saja harus berbuat apa selain ini. Setidaknya fakta bahwa game mampu menghilangkan suntuk itu terbukti padaku.
Tiba-tiba Afni menghampiriku, aku menoleh dan dia tersenyum. Masih dengan senyum yang tadi. Aku ingin membuang muka, tapi tidak enak hati padanya. Lagipula untuk saat ini aku tidak bisa berinteraksi dengan orang lain. Jadi aku tidak punya pilihan.
“Aku udah nungguin kamu...”, ucapnya datar.
“Ah? Buat apa?”, tanyaku heran.
Afni hanya tersenyum.
“Afni, kamu kenapa?”, tanya Yhuni tiba-tiba.
Aku menoleh pada Yhuni, memangnya apa yang salah? Kembali aku menoleh pada Afni, tapi dia langsung ambruk!
Teman-temanku langsung mengangkat dan membaringkannya ke meja. Seperi biasa, mereka semua panik dan langsung memanggil guru. Aku ternganga. Tapi itu hal biasa. Afni sudah sering pingsan. Seharusnya aku tidak peduli, tapi mengapa aku jadi diam seketika?
Tidak lama kemudian, seorang guru datang–Pak Syam, teman-temanku pun membuka jeda dimana sebelumnya mereka mengerumuni Afni. Pak Syam memegangi kepala Afni. Afni langsung berteriak kencang. Dia kesurupan. Pak Syam menoleh padaku, dan bertanya, “kamu baik-baik saja, Nak?”. Aku tidak mengerti maksudnya, aku hanya mengangguk. Dia masih saja sempat-sempatnya memerhatikanku, pikirku. Tapi aku tersadar pada satu hal, Pak Syam mengajakku bicara. Berarti dia juga bisa berinteraksi denganku. Dia berbeda dari yang lainnya. Mimpiku cukup aneh, namanya juga mimpi hahaha.
Pak Syam kembali memegangi kepala Afni, dan Afni kembali berteriak. Teman-teman sekelasku spontan menghindar. Bahkan ada yang langsung meninggalkan kelas. Ada juga yang setia memegangi dan mengipasi. Amel, Yhuni, dan Tika tampak memandangi dengan serius. Aku pun bergabung dengan mereka. Meski lagi-lagi mereka tidak memperdulikanku.
Teriakan demi teriakan dilakukan Afni. Dia sangat tersiksa. Aku jadi iba padanya. Aku ingin membantunya, tapi aku tidak tahu harus berbuat apa. Dia melotot padaku, aku hanya membalas pandangannya dengan tenang. Maafkan aku Afni, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tiba-tiba Afni menendang dengan keras. Bahkan melebihi kekuatannya seharusnya. Gerakannya semakin liar dan kuat. Bahkan Pak Syam sendiri terlihat cukup kewalahan menahannya. Dia ingin bangkit, tapi terus dihadang. Hingga akhirnya Pak Syam melototinya dan menggertak. “Kamu mau apa?!!”
Afni terdiam, tapi balas melototi Pak Syam. Matanya seolah hendak keluar dari tempatnya. Teman-temanku semakin banyak yang menghindar. Pak Syam kemudian memelankan suaranya, mengajak Afni berbicara baik-baik. Tapi Afni membisu dan menoleh padaku. Lagi-lagi aku!
“Nak, kamu kenapa masuk lagi? Siapa yang ganggu kamu?”, tanya Pak Syam yang berusaha mengajak Afni berbicara.
“Naaak..., kamu maunya gimana? Bicara Nak, kalau kami bisa bantu, tentu akan kami bantu...”
“A..., aaa... haaaaakkkhh!!!”, Afni seakan ingin berbicara, tetapi berujung pada teriakan keras.
“Bicarakan, Nak... Kamu siapa? Kamu mau apa?”
“Haaaaakkkhhh!!!”
“Kamu Kim? Iya Nak, Bapak tau kamu Kim... Sekarang kasih tau ada apa?”
“Haaaa...”, tiba-tiba Afni hanya menangis. Menangis yang sangat pilu. Rasa ibaku bertambah. Aku jadi penasaran apa yang terjadi.
“Katakan Nak, pelan-pelan saja, jelaskan ke Bapak, ada apa?”
“Haaaa... A..., akuu ti..dak suka merekaa...”
“Mereka siapa Nak?”
“MEREKA BODOH!!”
“Hei Kim..., pelan-pelan saja. Siapa yang kamu maksud? Afni tidak mengganggu kamu Nak...”
“Dia memang tidak ganggu..., taapii aku suka diaa... Aku mau ada yang nemenin akuu... Aku sendiriiaaaann!!”
“Iya, kamu boleh berteman, tapi kamu jangan ganggu Afni... Dia tidak bisa Kim...”
“Diaa ahahahah dia memang jahat! Dia JAHAAATT!! Dia tidak mau menemaniku! Padahal aku hanya ingin dia menemanikuuu! Haaaaa... semua jahaaatt...”, teriakan Afni berikhir pada air mata histerisnya.
Aku semakin iba, aku mendekat, tapi Pak Syam langsung menghadangku dengan tangannya lalu menggeleng.
“Sudahlah Kim, jangan ganggu anak-anak di sini... Mereka tidak tahu apa-apa... Maafkan mereka Kim...”
“TIDAK!! Mereka sudah jahat... Kamu tau ituu!! Kamu juga jahat! Kamu hanya menyuruhku berhenti, tapi kamu tidak membantuku! Kamu jahat! JAHAAAT!!!”
“Kim... Mereka tidak mengganggu kamu Kim...”
“Haaaaa... Haaaaaaaa... Kalian jahaaaat..., kalian semua jaahaaaatt...”
Afni kembali menangis, teman-teman sekelasku terlihat memiliki rasa yang sama denganku yaitu iba. Air mata Afni terlihat sangat menyedihkan.
“Sudah yah Kim..., keluarlah...”
Afni tetap menangis. Menangis dengan penuh kepedihan. Tapi dia bukan Afni yang sebenarnya. Aku justru kasihan pada Kim.
“Aku nggak punya siapa-siapaa... Aku sendirian. Aku diperkosa dan digantung di sanaa..., mama papaku nggak tau... Mereka ngira aku hilaaang... Mereka bahkan nggak nyari aku lagii... Aku mau ketemu merekaa..., kasih tau merekaaa...”
“Kim, maafkan kami Nak... Tapi itu sudah sangat lama, kami tidak mengenal keluarga kamu... Kamu juga jangan membalas pada anak-anak di sini Kim, mereka tidak tahu apa-apa...”
“NGGAK!! Haaaaakkkhhh!!! Kamu jahat!! Kamu jahat sekali! Kamu egoiss! Aku cuma butuh teman... Aku juga mau tenang...”
“Iya Kim, kami mengerti... Makanya kamu tenanglah di sana, kamu tidak perlu mengganggu anak-anak di sini...”
“Haaaaaaaaaaakkkhh!!! Haaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkhhhhh!!!”. Afni memberontak. Dia menendang-nendang dan berusaha melepaskan tangannya dari pegangan Pak Syam.
“Kim, tenanglah Nak... Tenaaang...”
“Cari akuuuuu!!!”
“Udah nggak bisa Naak... Percuma kami nggak bisa nemuin kamu lagi... Kamu udah terlalu lama, bahkan sebelum kami di sini... Kamu sendiri tau itu...”
“Haaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkhhhhh!!! Aku mau tenaaangg....”. Air mata Afni mengalir semakin deris.
Aku semakin iba. Pasti sangat tersiksa rasanya. Teman-temanku berbisik, membicarikan tentangnya. Mereka semua iba.
“Kenapa nggak bisa dicari?”
“Nggak tau... Mungkin karena udah terlalu lama, jadi dia udah nggak bisa ditemuin lagi kan...”
“Tapi masa nggak bisa diapa-apain...”
“Yah emangnya mau diapain?”
“Emang dia dimana?”
“Di pohon kan... Kesurupan sebelumnya dia udah bilang...”
“Terus gimana cari bantunya?”
“Nah itu dia, nggak bisa lagi...”
Mereka terus membicarikan Kim. Mereka memikirkan solusi untuk membantu Kim. Tapi memang tidak ada jalan. Kim sudah meninggal ratusan tahun lalu. Menjadi korban kekejaman Kolonial Belanda, diperkosa, kemudian dibunuh dan dibiarkan di Pohon Mangga yang kini sudah menjadi bagian dari SMA Yudhistira.
Sebenarnya Kim tidak sendirian. Dia bersama kekasihnya–Nathan. Nathan juga ikut terbunuh yang entah bagaimana prosesnya. Nathan tidak pernah menceritakan prosesnya pada kami saat merisuki seseorang. Dia hanya meminta teman. Nathan juga tidak sesering Kim mengganggu orang. Selain Nathan, masih banyak lagi yang lain. Tapi mereka tidak seganas Kim dan Nathan. Kata pesuruh sekolah, jumlah mereka bahkan lebih banyak ketimbang jumlah pelajar SMA Yudhistira.
Kejadian seperti ini memang sudah sering menimpa siswi SMA Yudhistira. Hampir tiap minggu ada-ada saja yang kesurupan. Afni sudah menjadi langganan. Bahkan empat tahun lalu, pernah terjadi kesurupan massal dengan korban sekitar empat puluh siswi. Bahkan ada yang hampir lompat dari lantai 2. Beritanya sampai menyebar dan disiarkan oleh beberapa stasiun televisi lokal hingga nasional. Beberapa masyarakat juga ada yang menjadikan itu sebagai alasan untuk tidak masuk SMA Yudhistira, meskipun SMA Yudhistra termasuk unggul.

@@@











Delapan..

Aku meletakkan tasku di meja belajar, aku terdiam dan duduk di pinggiran tempat tidur. Aku masih teringat pada Kim. Tapi aku sedikit takut. Aku serasa dibayang-bayangi. Aku menggeleng cepat, kutepuk pipiku, lalu membaringkan tubuh. Aku tidak ingin mengingatnya.
Kreek... Pintu kamarku terbuka, spontan aku menoleh. Ternyata hanya Kak Reyni. Dia tersenyum, aku tenang akan hal itu. Akupun membalas senyumnya.
“Kamu kenapa kaget gitu?”
“Ah? Nggak pa-pa kok... Abis masuknya gak bilang-bilang...”
“Oohh haha...”
Kak Reyni langsung membaringkan tubuhnya di tempat tidurku. Aku terdiam, keluargaku tidak bersikap sama dengan orang-orang di sekolah. Apa aku sudah sadar? Lalu kapan aku bangun? Aku tidak pernah merasa sudah bangun tidur seharian ini. Ah, mungkin aku masih mimpi. Mimpi yang panjang. Bukankah mimpi itu memang seringkali aneh dan tidak bisa dimengerti?
“Kak Rey...”
“Hmm?”
“Ayah gimana?”
“Kamu belum ketemu yah? Dia di kamarnya aja. Masih sakit, tadi dia banyak gerak jadi perlu istirihat...”
“Ooohh...”
Aku memeluk Kak Reyni, tapi Kak Reyni tidak bereaksi apa-apa. Wajar, dia tidak tahu apa yang kurasakan saat ini. Kak Rey, aku hanya ingin bersandar sejenak. Rasanya aku lelah dan takut. Aku tidak tahu harus bersandar dengan siapa lagi. Akbar, dia tidak ada dan aku sangat merindukannya. Aku juga tidak bisa menceriterakan apa-apa. Bukan karena aku tidak mau, tapi karena aku tidak tahu bagaimana menyampaikannya. Aku hanya ingin sekedar bersandar. Mungkin aku manja, tapi biarkanlah untuk saat ini.

@@@

Kubuka buku catatan Biologiku, di halaman paling belakang ada catatan kecil tentangmu. Senyum kecil terbentuk pada bibirku. Membuatku teringat lagi padamu sayang, meski sebenarnya memang selalu teringat. Akbar, ada apa dengan kamu? Meski baru dua hari keadaan ini, aku sudah tidak tenang. Aku benar-benar kesulitan menikmati yang satu ini. Aku kesulitan menikmatinya tanpamu. Setidaknya hubungi aku. Ini mungkin lebih sakit daripada perpisahan. Ini sebuah ketidakjelasan. Kita masih bersama, tapi kau mengacuhkanku bahkan meski aku berdiri di hadapanmu. Aku seolah tidak ada. Apa sebenarnya yang terjadi? Berkali-kali pertanyaan yang sama memenuhi benakku. Kemudian aku menjawabnya dengan singkat bahwa ini mimpi. Meski aku sendiri tidak begitu yakin kebenarannya. Apapun itu, aku ingin keluar secepatnya. Aku sudah merindukanmu. Sangat merindukan kehangatanmu Akbarku.
Kuperiksa handphone-ku, sungguh ini menyebalkan. Tidak ada pesan sama sekali, bahkan dari teman-temanku yang biasa mengirimi pesan ke banyak orang termasuk aku, ataupun untuk sekedar menyapa. Rasanya aku ingin sekali menghubungi mereka, tapi apa mereka akan peduli? Kurasa tidak. Mereka sudah aneh. Aku masih tidak percaya. Ah, ini kan mimpi, aku harus percaya. Bodoh, ini sungguh bodoh. Harusnya siapa yang kupercayai? Lebih tepatnya apa yang harus kupercayai? Hatiku utuh merasakan kejanggalan, tapi logika mengatakan ini hanya mimpi yang wajar.
Kupandangi wallpaper handphone-ku, keceriaan kami sangat hebat. Aku bahkan dibuat narsis tiap kali melihat wallpaper itu. Aku serasa pasangan paling bahagia bersamanya. Meski kesempurnaan itu tidak nampak di mata mereka, bagiku kesempurnaan tetap ada di pihak kami berdua.

@@@

“Rani!!!!”
-------------
-------------
“Rani?”
Aku tersentak kaget, kulihat Kak Reyni tepat di depan mataku. Kak Reyni kemudian mundur, tapi tetap memerhatikanku. Aku kebingungan, ada apa lagi?
“Rani, kamu baik-baik aja?”
“Emang ada apa?”
“Kamu pingsan sayang...”
“Gak usah panggil sayang, biasa aja.” Aku memang tidak suka dimanjakan keluarga. Entah mengapa hanya Akbar yang kubiarkan memanjakanku. Itupun tidak selamanya aku mau. Rasanya aneh kalau dimanjakan berlebihan. Meski kadang aku membutuhkannya.
“Sebenernya ada apa sih?”
“Kakak juga nggak tau ada apa, tadi Kakak cuma masuk kamar kamu, terus kamu tidur di meja belajar. Kakak bangunin kamu nggak bangun-bangun trus malah jatuh. Kakak langsung bawa kamu ke tempat tidur, kasi minyak kayu putih, kamu baru bangun sekarang...”
Kulihat jam dinding di kamarku, sudah hampir tengah malam. Kuingat kembali, tadi sore aku memang ke meja belajar.
“Mama mana?”
“Kakak nggak bilang kalo kamu pingsan. Nanti dia malah tambah cemas...”
Aku terdiam. Tapi aku malah mengantuk.
“Ya udah, makasih. Kakak tidur aja, aku juga udah mau tidur...”
“Oke, baik-baik yah...”
Kak Reyni meletakkan botol minyak kayu putih di sampingku, kemudian beranjak dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Tidak terpikir apa-apa, kucari handphone-ku, ternyata di bawah bantal. Tidak ada apa-apa, hanya wallpaper. Hhhh... Selamat malam.
.
@@@

Aku berjalan memasuki kamar, masih terngiang di benakku keadaan sekolah yang masih juga seperti kemarin. Akbar juga belum memberiku kabar. Sampai kapan? Aku mulai muak. Ini benar-benar diluar logikaku.
Aku duduk di pinggir tempat tidur, kunyalakan handphone, wallpaper. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana cara agar ini semua berakhir dan kembali seperti semula?
Prak!
Aku seketika berbalik badan. Vas bunga di atas meja ternyata sudah menjadi puing-puing kaca tak beraturan di lantai. Aku menoleh, mencari tahu sebab pecahnya vas itu. Tapi tidak ada siapa-siapa dan tidak ada apa-apa. Tiba-tiba  rambut-rambut halusku berdiri, kulirik handphoneku, menyala dan bergetar. Apa lagi ini?
Deerrtttt... deeeerrrttt... deeeertttt... deeeerrrttt...
Kucoba membaca tulisan pada layar, seperti yang kuduga, nomor pribadi. Angkat, tidak? Angkat!
“Halo?”
“.....”
“Halo? Ini siapa?”
“.....”
“Haloooo? Ini siapa?”
--------
“HAAAAAAAAAAKKKKKKHHHHHHH......!!!!!! MAMAAAAAAHH....!!!!”
Hanya itu yang bisa kulakukan spontan. Menjerit. Berteriak semampuku. Kemudian bisu. Tidak lama kemudian Mama dan Kak Reyni menyerobos memasuki kamarku dengan begitu panik di wajah mereka.
“Ada apa Rani?”
“........”
“Rani bicara sayang... Ada apa?” Mama begitu panik dan langsung mendekatiku.
“........”
“Rani, ada apa Nak?”
“HHAAAAAAAAAAAAKKKHHH....!!! AAAAAAAGGGHHHH....!!!”
“Rani ada apa? Tenangkan dirimu Nak, ada apaa?”
“Mamaaaaahhhh dia ngikutin aku Maaaahhh...! dia di siniii, diaaaa Mamaaahh... Haaaaaa Mamaah tolong aku Maaah... Mamaaaahh...”
“Ya ampun Rani, tenangkan pikiran kamu sayang... Kamu liat dia?”
“Mamaah dia di sinii... Dia tadi di sini Maaah, di kamar akuu... Mamaaaaaaahh tolong akuu haaaaaaaahhh HHAAAAAAKKHHHH!!!!!!! HHHHHAAAAAAAAAAAKKKHHHHH” Aku benar-benar menjerit histeris. Aku benar-benar tidak tahu lagi apa yang bisa kulakukan selain itu.
“Raniii!!! Tenang sayaaang, tenaaangg... Kamu jangan lihat dia Nak, lihat Mama! Istigfar Rani, istigfaar!”
Mama berusaha menenangkanku, dan menutup mataku dengan dekapannya. Kak  Reyni terlihat ketakutan dan memojok di dinding. Maafkan aku. Aku pun begitu ketakutan. Aku tidak mengerti bagaimana menjelaskannya, aku marah tapi tidak tahu bagaimana harus marah.
“Rey, cepat ambil minum!”
Kak Reyni masih terdiam, hingga Mama menyuruh untuk yang kedua kali, kemudian Kak Reyni keluar dengan tergesa-gesa dan takut.
“Rani, istigfar sayang...”
“Maaaahh... Kenapa semua ini Maaah? Semua nggak ada lagi yang ingat sama aku, semua lupaa... Cuma keluarga ini yang ingat aku Maaa...”
“Rani kamu ngomong apaan, nggak ada yang lupa sama kamu sayang...”
“Mama aku serius!! Mereka semua lupa sama aku Maaah!! Mereka nggak nganggep aku adaaa Mamaaah...! Haaaaaaa.... Mereka nggak nganggep aku adaaa...”
“Rani kamu jangan ngaco! Maksud kamu apaa?”
“Temen-temen aku, guru-guru aku semua nggak nganggep aku ada Maa...”
“Jadi maksud kamu gimana? Mama nggak ngerti Raniii...”
“AAAHHH!!! MAMAA!! Mama nggak taauuu gimanaaaa, Mama nggak tauuuu!! Tiap hari aku ke sekolah tapi nggak ada yang peduliin aku!! Mereka semua bahkan nggak nganggep aku ada di antara mereka aaaahahahahahahh... Mereka semua buta Ma!! Mereka buta! Mereka mungkin nggak bisa liat aku ahahahah dan mungkin... dan mungkin mereka ituuu udah gilaa? Ahahahahah mereka semua gila Mamaa!! Mereka jahat dan gilaa!! Aahahahahahh semua orang giii...”
“STOP Rani!! Ada apa dengan kamu? Apa yang buat kamu jadi begini?”
“Ah? Aku nggak pa-paa ahahahah lebih tepatnya AKU NGGAK TAU APA-APA ahahahahhahh mereka semua udah lakuin ini sama aku, mereka yang harus ditanya!!”
“Raniii, Mama mohon kamu tenang... Katakan semua yang sebenarnya ke Mama, Naakk...”
“Mama, aku udah bilang yang sebenarnya!! Mama nggak percaya sama aku?! Ahahahahah wooooiii!! Bahkan mamaku sendiri nggak ada di pihak aku! HAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKHHHHHHHHHHHH!!!!!!!! Kamu jahat! Kamu jahaaaaattt!! Apa mau kamu haaahh??!!! Gila yah? APAAAA???!!!”, aku semakin histeris. Jeritanku mungkin sudah mengundang tanya para tetangga.
“RANI STOP!!! Apa sebenarnya yang udah terjadi sama kamu? APA?! Semua yang kamu omongin itu gila!”
“Hahahah terus? Iyah itu emang gila! Mama pantas dan SANGAT PANTAS untuk nggak percaya ahahahahh...”
PLAAAKK!
“Maaa!!!”, Kak Reyni hanya bisa menjerit begitu melihat tamparan dari tangan kanan Mama mendarat di pipiku dengan cukup keras. Gelas berisi air yang dibawanya jatuh seketika.
Panas. Begitu panas terasa darah ini mengalir di tubuhku. Mataku sudah bagai kebocoran tanggul. Tapi aku diam. Seketika diam. Bibirku membeku. Aku serasa tersentak!
Tiba-tiba Ayah datang. Dia berdiri di depan pintu dengan kondisinya yang masih lemas. Kupandangi dia, tatapannya sungguh pilu. Dia melihatku dan seakan memberi kontrol pada Mama. Ayah, maafkan aku. Aku tahu Ayah sekarang sangat cemas pada keadaan keluarga. Tapi aku tidak tahu bagaimana menjelaskan dan meyakinkan. Aku tidak bohong Ayah. Aku harap Ayah bisa tahu isi hatiku. Setidaknya itu bisa sedikit menolongku.
“Mama harap kamu nggak ngomong ngaco lagi. Maafkan Mama...” Mama berlalu dari hadapanku, membantu Ayah untuk kembali ke kamar, meninggalkanku berdua dengan Kak Reyni.
“....”
“Ran...”, Kak Rayni mendekatiku, mencoba menenangkanku.
“A...aa...apa? Se...semua ini aa..pa?”
“Ran... Maafin Mama...”
“Aaa...hhhh... Aku nggak tauuuh...”, air mataku semakin deras tanpa kontrolku. Aku masih tercengang. Dan aku ambruk.
“Ranii...” Kak Reyni lansung memelukku, menangis bersamaku.
“Kaaakk... Aku nggak ngerti apa yang udah terjadi sebenarnya... Tapi mereka..., mereka nggak nganggep aku ada Kaaak...”
“Huuushh sabar Ran... sabaar...”
“Hhhh bahkan Akbar nggak ada lagih, dia nggak ngasih kabar dan dia nggak nganggep aku ada sekalipun aku udah ngomong di depan dia Kaaak... Apaa, ini semua apaaaahh?!!”
“Rani udahlah... Tenangkan diri kamu...”
Kak Reyni semakin memelukku, meski entah apa dia ada di pihakku atau tidak. Saat ini aku merasa hanya dia satu-satunya yang peduli padaku. Aku mungkin sudah kehilangan.

@@@
















Sembilan..

“Maaf telah merepotkan Bu, tapi selama beberapa hari ini, Rani tidak pernah masuk sekolah... Kami tidak tahu lagi harus berbuat apa selain mengundang ibu untuk datang. Setau kami, Rani itu rajin. Makanya kami memprihatinkan perubahannya ini Bu...”
“Hmm iya, saya berterimakasih atas tindakan Bapak, tapi saya sama sekali tidak menyangka kalau Rani benar tidak masuk sekolah. Karena Rani selalu berangkat ke sekolah setiap pagi dan pulang seperti biasa. Bahkan dia diantar oleh kakaknya sampai depan gerbang Pak...”
“Ah tapi kenyataannya absen berkata lain Bu. Ibu juga bisa tanyakan langsung pada wali kelas dan teman sekelasnya.”
“Hmmhh... Baiklah Pak, saya percaya pada Bapak. Terima kasih...”
Tidak lama kemudian wanita itu pun keluar dari ruangan kesiswaan dengan raut wajah kecewa. Wanita yang tidak lain adalah Mama. Aku panik bukan kepayang saat melihatnya. Aku juga sudah mendengar langsung pembicaraan Mama dengan kepala sekolah. Kejanggalan yang kini membuatku takut juga marah. Bisa-bisanya aku dikatakan membolos sekolah sementara itu tidak pernah terjadi. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Pasrah dan menyaksikan apa yang akan terjadi di rumah. Aku bukan pecundang yang tidak pulang ke rumah hanya karena masalah seperti ini.

@@@

“Maaaahhh...!!”
PLAAKKK!!
“Kamu ngapain aja selama ini hah?! Kamu udah bikin malu Mama! Kamu itu bukannya bantuin Mama, malah nambahin beban pikiran Mama. Rani, kamu tahu kan Ayah masih sakit! Kamu jangan buat ulah! Kamu tuh dikasih kepercayaan buat mandiri, malah bikin masalah. Kamu nggak kasihan sama Mama? Sama Ayah? Sama Reyni yang udah nganterin kamu sekolah tiap pagi? Apa sih yang ada di pikiran kamu? Kamu stress? Mikirin apa? Yang lebih stres itu Mama!”
“....”, aku tidak bisa berkata-kata. Aku hanya bisa menangis di hadapan Mama dan Kak Reyni. Tapi pikiranku memberontak, aku tidak membolos Ma.
“Rani, lihat Mama! Walaupun Mama kerja, Mama tetap sempat-sempatin waktu buat ngurus Ayah. Mama berusaha cari uang untuk biayai perawatan Ayah. Kamu tahu kan berapa biaya operasi, obat, sampai perawatan Ayah? Itu nggak sedikit! Kamu juga tahu kan kalau Mama cuma guru? Sadar Rani! Kalau kamu udah berani bolos sekali, yakin aja kamu bisa lebih mudah untuk bolos berikutnya. Mama tahu itu. Dan kalau kamu udah biasa bolos, apa gunanya sekolah? Buang-buang uang aja! Kamu pikir sekolah kamu itu murah? Siapa yang nggak kenal SMA Yudhistira? Sekolah yang letaknya tepat di jantung kota. Mama susah-susah nyekolahin kamu di sana supaya kemampuan kamu bisa berkembang, bukan kemampuan negatif kamu buat bolos! Mama malu, Rani! Mama malu! Mama ini guru, masa anak Mama sendiri yang malah bolos? Mau taro di mana muka Mama?”
“....”, masih saja aku begitu. Diam bersama air mataku. Padahal aku sama sekali tidak bersikap seperti yang dikatakan Mama. Aku tidak membolos, tidak pernah. Aku menjaga nama baikku, nama baik keluargaku. Aku sangat paham siapa diriku, sehingga aku tidak boleh berbuat macam-macam. Aku memang tidak hebat di sekolah, tapi tidak pernah ada niat untuk lebih menurunkan posisiku apalagi sampai mempermalukan orang tuaku, sama sekali tidak.
“Hhhh... Mama nggak habis pikir Ran...”
“....”, kupandangi Mama, dia menangis. Terlihat jelas kekecewaan di raut wajahnya. Tuhan..., bagaimana caraku menjelaskan yang sebenarnya. Aku tidak membolos Tuhan, Kau tahu itu...
“Bicaralah sekarang... Jelaskan semuanya sama Mama...”, ucap Mama yang tadinya berdiri, kini menenangkan dirinya dengan duduk.
“Ah... hmm... Eeeh... Rani nggak tahu Ma...”, aku bingung harus berkata apa. Aku hanya cemas dan berpikir bagaimana menyusun kalimatku.
“Mck kamu jangan buat Mama marah lagi.”
“Rani udah bilang Ma, Rani nggak bolos... Rani masuk sekolah, Rani belajar di kelas, Rani ngerjain tugas, semuanya kayak biasa... Tapi emang semua nggak ada yang nganggep Rani ada dalam kelas. Semuaya nggak ngerespon Rani, seperti yang Rani bilang sebelumnya Maa... Rani nggak bohong, tolong Mama percaya sama Rani...”
“Hhhh... Ran, asal kamu tahu, Mama nggak ngerti!”
Mama tampak muak kemudian berdiri dan kulihat kakinya berjalan, membawa tubuhnya berlalu dari hadapanku. Selalu begitu. Selalu lari dari masalah yang belum selesai sepenuhnya. Tapi memang kuakui, masalah ini tidak mudah untuk dipahami oleh orang seperti Mama. Daya pemahamannya selalu berpatok pada rasional. Aku memang sedang tidak rasional.
Kak Reyni menghampiriku yang sudah duduk terpaku di pojok kamar. Dia terlihat datar. Aku tahu apa yang dipikirkannya. Di satu sisi, mungkin dia sepemahaman dengan Mama, tapi di sisi lain dia juga iba padaku dan ingin tahu apa sebenarnya yang telah terjadi.
“Dek...”
“Apah?”
“Ada apa sebenernya?”
“Kak Reyni nggak denger? Aku harus ngomong apa lagi sih Kak? Aku udah bilang semuanya. Tapi kakak nggak percaya, itu hak kakak!”
Aku dilanda kekacauan. Seiring bertambahnya hari, bukanlah perbaikan yang kudapat. Keadaan justru semakin buruk. Aku muak. Keluargaku tidak lagi bisa kuharap. Kali ini aku benar-benar sendirian.

@@@

Deert.. deertt...
Aku langsung meraih handphone-ku. Saat lampu layar menyala, raut wajahku yang tadinya penuh harap berubah menjadi masam. Ternyata pesan dari kartu provider yang menyampaikan informasi tidak penting bagiku.
Akbar masih juga tidak menghubungiku. Dia hilang. Sayang, ada apa dengan semua ini? Bahkan kau juga ikut bersikap sama seperti mereka. Apa yang sekarang di pikiranmu sayang? Apa kau merindukanku? Atau kau sedang memberikan pengajaran padaku? Tapi pengajaran apa bodoh?! Kau memang cerdas, tapi mengapa terlalu lama kau mengajariku dengan cara sekejam ini? Apa kau ingin kembali melupakanku dan pergi dengan orang lain seperti yang telah kau lakukan dulu? Tidak. Itu pembodohan. Meski kau dulunya pergi dengan orang lain, hatimu tidak pernah meninggalkanku. Sayang, apa kau tahu, aku begitu merindukanmu. Aku merindukan saat suara merdumu menjadi embun atas penatnya matahari yang menyengatku. Aku merindukan sentuhan kasihmu yang membuatku seakan percaya bahwa hanya kaulah satu-satunya cinta.
Akbarku, apa kau tidak bosan dengan keadaan ini? Aku tahu kau memang susah ditebak. Tapi apa segitunya sikapmu padaku bodoh? Bagaimana jika akhirnya aku muak dan meninggalkanmu? Dasar bodoh, kau memang tidak memikirkan itu. Kau memang tidak pernah terpikir bahwa aku akan meninggalkanmu. Kau begitu yakin, mungkin karena kau sudah mengenaliku bodoh. Tapi memang itulah yang terjadi. Sayang, cepatlah hampiri aku. Aku tidak akan mempersalahkanmu atas keadaan ini. Kau sudah terlanjur merangkul hatiku sayang. Aku benar-benar merindukan kasihmu. Meski aku yakin, kau yang di sana juga merasakan yang sama denganku. Benar begitu kan, sayang? Hahah dasar bodoh! Kalau memang benar begitu, mengapa kau tidak menghampiriku? Setidaknya kirimi aku pesan, atau telepon aku agar aku merasakan kasihmu.

@@@

Pintu kemarku tiba-tiba terbuka, berhasil membuatku menoleh. Ternyata seorang wanita datang dengan tujuan yang sudah bisa kutebak. Dia wanita yang sebelumnya begitu sendu, kini sepertinya hatiku begitu sinis melihatnya.
“Kamu kenapa? Nggak sekolah?”
Mama berdiri di depanku. Aku masih duduk di pojok tempat tidur sambil memeluk gulingku. Pelipisnya sudah berkerut, aku bisa menebak apa yang sekarang ada  di pikirannya.
“Kamu sakit? Kalau masih bisa ditahan, kamu sekolah saja. Mama nggak mau malu gara-gara kamu nggak  datang. Biarpun Mama bilang kamu sakit, belum tentu mereka percaya karena kamu sudah membolos.”
Aku masih diam, memandanginya, kemudian melempar pandangan. Aku masih memeluk guling. Serasa posisi inilah yang ternyaman untuk saat ini, lebih tepatnya sejak semalam.
Mama mendekatiku, memegangi jidatku, hangat. “Hhh..., kamu ini. Ya sudahlah, kamu istirahat hari ini supaya besok bisa baikan dan kamu ke sekolah. Mama nggak mau dengar alasan!”. Mama keluar dari kamarku, menutup pintu, dan setelah itu aku merasa lebih baik.

Aku sakit?
Sakitkah aku?
Sakit? Aku?
Aku sakit atau sakit?
Tidak.
Tidakkah?

Tidak. Aku begitu sehat. Aku percaya itu. Hanya saja jiwaku serasa tidak bergairah untuk melakukan apa-apa. Memangnya apa yang harus kulakukan? Berangkat ke sekolah lantas tetap dianggap membolos? Bertemu teman-temanku lantas dianggap tidak ada? Menghubungi dan menemui Akbar lantas tidak ada respon? Semua serasa percuma. Aku serasa lebih baik pingsan kemudian sadar dengan keadaan normal meski dengan resiko aku tidak tahu dan ketinggalan dengan kejadian yang sudah-sudah. Bagiku tidak masalah, asalkan aku tidak kehilangan jiwaku saja. Karena harus kuakui, kini aku memang seperti orang yang tercipta untuk merasakan kekacauan. Maafkan aku Tuhan.
Kupandangi gulingku, lalu kembali kupeluk dengan mesra. Setidaknya, gulingku ini tidak menolak untuk menerima kasihku. Setidaknya dia juga bisa menjadi sandaranku saat ini. Saat dimana kau, bodoh, tidak ada di sampingku. Bodoh! Apa kau sudah lupa bahwa kau adalah kekasihku? Apa kau sudah lupa untuk menjaga dan mendampingiku? Apa kau sudah lupa untuk meneteskan embunmu padaku? Dasar bodoh, kau sudah ingkar sayang. Mengapa sekarang kau tidak mengataiku tolol? Aku sudah meragukan cintamu, mengapa kau tidak datang dengan kekecewaan penuh dan berkata “apa hanya begitu caramu menilaiku tolol?”.
Kuciumi gulingku, kelopak mataku kembali menampung hingga penuh dan membiarkan isinya tumpah. Kau telah melakukan kesalahan besar sayang. Kau telah membiarkanku jatuh sendirian. Bahkan justru kaulah yang menjatuhkanku karena sikapmu ini.
Kugerakkan satu kakiku, mencoba mengangkatnya, tapi serasa begitu sulit dan kaku. Kupandangi sejenak, memar di telapak kaki ternyata masih ada. Padahal kejadiannya sudah sekitar seminggu yang lalu. Kemudian kutekan pelan tepat di bagian yang sudah berwarna keunguan, tidak ada rasanya. Pantas saja aku melupakan memar ini, memang tidak sakit lagi.
Kembali kucoba menggerakkan kaki, aku sadar, ini sudah pagi dan ternyata aku tidak meregangkan kakiku berjam-jam. Terus kucoba mengangkat kakiku, hingga akhirnya berhasil dan terasa seperti tertusuk jarum-jarum. Kulakukan hal yang sama pada kakiku yang lain. Kedua kakiku tampak pucat dan keras. Kupukul-pukul dengan pelan, meski tusukan jarum-jarum itu semakin terasa. Setidaknya, kini aku sudah lebih siap untuk menggunakan kedua kakiku.
Aku bangkit, berjalan menuju cermin dengan kekakuan. Kupandangi diriku dari atas hingga bawah. Hahaha sungguh menyedihkan diriku ini. begitu dingin. Memalukan! Aku seperti tidak mengenali sosok pada cermin panjang di hadapanku. Dia bagaikan boneka saja, tidak bernyawa. Bahkan lebih tepatnya boneka rusak yang sudah saatnya dibuang. Mungkin juga aku akan bernasib sama seperti boneka rusak. Mengapa tidak?
Kini pikiranku sudah melayang dalam bayang-bayang yang tak sepantasnya ada dalam otakku. Benar, aku memang tolol. Sangking tololnya aku terjebak dalam situasi ini dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aaaaaaaaaarrggghhhh rasanya aku hendak memberontak. Tapi apa gunanya? Hahaha aku berani menanyakan guna, padahal diriku sendiri ini memang sudah tidak berguna. Pernahkah kau marah dalam diam? Atau kau sangat ingin marah tapi kau tidak bisa melakukannya? Kau sangat ingin marah dan pantas untuk marah, tapi tidak tahu harus marah pada siapa dan bagaimana. Yang ada kemarahan itu akan membuatmu menertawai dan mengasihani dirimu sendiri. Beruntung, setidaknya saat ini aku masih menyayangi nyawaku. Aku masih berharap keajaiban datang dan menolongku. Menarikku keluar dari keadaan busuk ini kemudian mengembalikanku pada kehidupan semula. Sungguh, aku merindukan kehidupanku. Aku merindukan keluargaku, Akbar kekasihku, dan sahabat-sahabatku.
Kembali kuperhatikan lebih detail diriku. Kulitku memutih, bagai tidak teraliri darah. Bibirku sudah keriput, pecah-pecah dan tak berwarna. Kantung mata dan lingkaran hitam di bawahnya, membuat aku sendiri takut melihatnya. Aku seperti orang yang sedang menunggu ajal. Apa aku sudah mati? Jangan-jangan aku memang sudah mati. Jangan-jangan ini hanya rohku. Lalu dimana tubuhku? Haaaah! Kutepuk pipiku, aku sungguh bodoh. Aku baik-baik saja. Aku harus baik-baik saja hingga saat itu datang kemudian aku akan menertawai masa ini. Tertawa sepuasnya!
Kutendangi dinding tempat cermin itu menempel dengan tenang. Tidak terasa sakitnya, masih mati rasa. Apa bedanya aku dengan cermin ini? Tidak bisa berbuat apa-apa selain bermanfaat untuk orang lain kemudian jika saatnya tiba, ia akan dibuang. Hahaha malah mungkin aku pantas iri pada cermin ini. Setidaknya dia bisa bermanfaat meski dia tidak bernyawa, setidaknya dia bisa tenang dengan posisinya, dan setidaknya pula dia tidak pernah menuntut sepertiku, karena dia tidak punya rasa.
Terngiang kembali masa-masa indah itu. Kebahagiaan keluarga, kehangatan sang kekasih, dan keramaian bersama sahabat-sahabatku. Masih bisa kudengar suara-suara kenangan itu. Hahaha ternyata aku juga telah iri pada kenangan.

my beating heart is getting tired
tonight it feels like it's on fire
and I'm driving all alone
my hand is on my phone
waiting for you to call me
please pick up the phone and call me
cause I'm lonely and my mind is aching
can't you see I'm for the taking

you are my only hope
but you
re so far
and you are my only hope
so come back home
from where you are

I see your face on everyone
like the constant beating of the sun
right on my skin
I'm suffering without you
I'm tired
I reach for my stereo
it's starting to sound real close to home
and I cant bear
to sleep here without you

you are my only hope
but you're so far
and you are my only hope
so come back home
from where you are

just come back home
from where you are
just come back home

sometimes I feel like I was mistaken
you must be an angel
sit down and teach me what life was all about
I see myself changing
no longer a stranger you gave me a reason to never die

you are my only hope
but you're so far
and you are my only hope
so come back home
from where you are
Secondhand Serenade – Only Hope

@@@




Sepuluh..

Pagi telah berganti. Bukan lagi siang, malah angkasa sudah menunjukkan sebahagian kedahsyatannya melalui bulan dan bintang. Tapi aku masih terdiam di kamar. Tempat tidurku sudah jauh dari kata rapi. Foto-foto kebersamaan dengan sahabat-sahabatku, juga orang yang sangat berpengaruh dalam hidupku–Akbar, berserakan di tempat tidur. Maafkan aku, karena aku tidak bisa ikhlas dengan keadaan ini. Aku tidak bisa ikhlas harus hidup sendiri tanpa mereka. Terutama Akbar yang sudah kuharap menjadi satu-satunya tempatku mencurahkan isi hati. Dia tidak bersamaku.
Berapa lama lagi aku harus merasakan ini semua? Aku sudah lupa waktu. Rasanya waktu berlalu tidak berguna. Sekarang tanggal berapa dan hari apa? Mungkin aku sudah melewati hari-hari dimana semestinya aku bahagia bersama suatu moment. Aku menerawang ke luar jendela, terlihat langit begitu jauh. Jejeran bintang-bintang membentuk garis, garis-garis membentuk gambar, dan gambar dari imajinasiku. Ah, aku patut bersyukur karena masih bisa berimajinasi. Tapi, apa itu? Aku sudah salah. Aku tidak boleh menyugesti diriku pada hal-hal bodoh. Kupalingkan pandanganku ke bintang yang lain.
Aku terdiam. Aku mencoba menikmati ketenangan. Tapi yang ada aku semakin gusar. Aku terpanggil kembali untuk memerhatikan bintang-bintang tadi. Ah aku tidak mau! Astaga apa yang sudah kubayangkan? Maafkan aku, sepertinya aku sendiri lah yang membuat keadaanku segusar ini. Aku teringat pada sebuah penelitian kesehatan bahwa pemikiran mampu memengaruhi kesehatan dan mental. Sepertinya aku sudah terkena sindrom jenis ini.
Kuberanikan untuk menoleh, meski ketakutan mulai merasuki pikiranku. Astaga, aku harus bisa melawan. Itu hanya imajinasi. Imajinasi yang membuatku lemah. Kuperhatikan kembali deretan bintang-bintang itu. Lagi-lagi imajinasi itu datang. Seorang perempuan yang tampak menangis. Ah, itu bukan aku. Semakin kuberanikan diri untuk memerhatikan deratan bintang itu.
“AAAAAKKKHHH!!!”
Astaga tidak! Itu halusinasiku saja. Halusinasi yang lebih kutakutkan dari sebelumnya. Maafkan aku Rani, kubuat diriku sendiri terasuk oleh pikiran burukku. Tapi bentuk itu begitu jelas. Bentuk yang seakan sangat terpacu untuk menerkamku. Tidak, tidak, tidak, itu tidak benar! Itu halusinasi saja! “AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKKHHHHH!!”
“Rani!”
Kak Reyni tiba-tiba masuk dengan paniknya. Kupandangi dia, tapi aku tidak berbicara apa-apa. Aku diam dengan nafas yang sementara kukontrol. Kak Reyni memerhatikanku. Aku tahu dia kaget. Mungkin sama dengan kagetnya diriku.
“Kamu ga pa-pa?”
“Nggak.”
“Yakin?”
“Iya. Udah, Kak Rey keluar aja.”
Kak Reyni diam di tempat. Dia seperti tidak percaya padaku. Memang aku berbohong. Tapi kalaupun Kak Reyni menemaniku, dia tidak dapat membantu apa-apa. Karena dia tidak mengerti apa yang terjadi padaku, dan tidak akan mengerti. Aku yakin itu. Mungkin hanya orang-orang bodoh saja yang mengerti. Atau aku harus ke psikiater? Hahaha pikiran bodoh lagi. Aku teringat pada sebuah film yang pernah kutonton. Di film itu seorang psikiater yang justru menjadi korban utamanya. Dia mengalami hal-hal tragis di depan matanya. Suaminya ditikam sesaat setelah mereka berhubungan, anak laki-lakinya yang terus menyalahkannya, anak perempuan yang jadi buta karena shock, dan tidak ada yang percaya padanya. Semua orang menganggapnya berhalusinasi hingga dia hampir di penjara dan berakhir di rumah sakit. Apa aku mengalaminya? Kalau itu benar, kembali aku patut bersyukur karena aku belum dihadapkan pada penjara ataupun rumah sakit. Aku juga tidak sampai kehilangan orang yang kucintai di depan mataku, tidak sampai dibenci oleh orang terdekatku meski aku ragu dengan yang satu ini.
“Rani...” Kak Reyni memilih mendekat padaku. Aku membuang muka. Aku tidak marah, hanya saja aku butuh sendiri.
“Rani, sebenernya kamu kenapa? Tolong ceritain ke kakak... Kamu tau? Sejak kamu masuk rumah sakit, kakak selalu mikirin ada apa sama kamu. Karena kamu jadi beda sejak itu Dek... Kamu jadi pendiam dan suka menyendiri. Dek, apa kamu shock dengan keadaan Ayah? Kakak tau Dek, kakak sangat tau. Kakak yang ngeliat Ayah di rumah sakit aja, kagetnya setengah mati. Apalagi kamu yang ngeliat kejadiannya langsung...”
Aku mendengarkan semua itu, tapi aku memilih diam tanpa menoleh padanya. Bukan hanya itu yang kurasakan, kalau hanya itu saja, aku masih terlalu tegar.
“Dek... Kamu harus bisa ikhlas dengan semua ini. Kamu mungkin belum siap dan masih dini untuk dihadapkan dengan yang kayak gini makanya kamu shock berat. Tapi itu bukan alasan untuk kamu bisa mengganggu hidup kamu sendiri kan?”, lanjut Kak Reyni.
Kemudian kami berdua dalam keheningan. Aku tidak mengubah sikapku. Masih dengan sikap dingin. Maafkan aku karena tidak berkata-kata. Tapi apa yang harus aku katakan? Aku tahu semua itu. Meski tidak seutuhnya bisa kubenarkan. Aku paham, dan pemahamanku tidak berguna karena aku tidak punya solusi untuk keluar dari permasalahan ini.
“Akbar nyari kamu Dek...”, ucap Kak Reyni tiba-tiba.
Ah? Aku tercengang sesaat. Akbar mencariku? Yang benar saja. Pesan dan teleponku tidak pernah diangkatnya. Aku yang mencarinya tapi tidak digubris, mengapa sekarang malah ada kabar bahwa dia yang mencariku? Kalau memang itu benar, harusnya dia mengangkat teleponku saja atau membalas pesanku. Aku tidak percaya.
“Katanya kamu nggak pernah ngabarin dia... Dia cemas Dek... Kamu nggak kasihan sama dia?”
“What the hell?! Aku udah SMS, nelvon, aku juga udah nemuin dia tapi dia nggak ngerespon!”
“....” Kak Reyni tampak tidak percaya dan bingung.
“Aku nggak bohong! Aku sendiri bingung kenapa dia nggak ngerespon! Bahkan aku berdiri di depan dia, ngajak dia ngobrol, tapi dia..., aaahhh aku nggak tau! Dia kayak nggak nganggap aku ada! Dia sama kayak temen-temen aku. Mereka sama!”
“Jadi Akbar nyuekin kamu?”
“Bukan cuma Akbar, Kaaakk...”
“Maksud Kakak semua temen-temen kamu juga...”
“Lebih tepatnya mereka nggak nganggep aku ada!”
“Tapi kamu yakin ada di antara mereka?”
“Agh! Aku nggak bohong, kenapa sih? Aku tau, ini emang nggak masuk akal. Aku tauu!”
“Rani, udah. Kamu ceritanya yang tenang.”
“Hhhh... Kak Rey, aku ada di antara mereka, di depan mata mereka, liat semua yang terjadi bareng mereka, tapi mereka nggak nganggep aku ada di antara mereka. Aku..., akuu..., aahhh aku juga nggak ngerti kenapa bisa gitu! Dan mungkin itu juga yang ngebuat aku dianggap bolos selama ini... Padahal Kak Rey lihat sendiri kan kalo aku masuk sekolah?”
“....”, Kak Reyni terdiam. Antara percaya atau tidak, dia tampak semakin bingung. Aku paham itu.
“Ini emang nggak masuk akal...”
“Hhhh... Maaf kalo Kakak nggak ngerti. Tapi yang kakak pikirin, kalo emang itu bener, kenapa bisa?”
“Hahahh Kak Rey sendiri aja nanya, apalagi aku? Aku udah ngerasain ini semenjak kejadian Ayah. Aku dibayang-bayangi ketakutan... Ketakutan yang seakan-akan mau nusuk aku. Herannya, karena yang dapat impasnya orang-orang yang aku sayang... Akbar sampe sempat masuk rumah sakit... Dan sekarang, mereka nggak bisa ngeliat aku, aku sendirian...”, air mataku kembali menetes mengingat permasalahan-permasalahan yang udah terjadi akhir-akhir ini. Bayangan yang menghantuiku setiap hari semakin sering.
Kak Rey terdiam. Suasana hening kembali tercipta. Ini memang sulit dipahami. Aku sendiri yakin akan sulit percaya jika aku berada di posisi Kak Reyni. Hahah entah mengapa aku masih bisa bertahan tanpa pemikiran atau rencana ke psikiater. Aku tidak segila itu.
“Kakak ngerti perasaan kamu... Sekarang kamu tidur, udah mau subuh... Kalo bisa besok kamu sekolah biar Mama nggak marah...”
“Hahah sayangnya aku udah yakin Mama bakal marah lagi karena besok aku bakal bolos. You know what I mean.”
Kak Reyni hanya memandangku, kemudian tersenyum tipis dan berlalu meninggalkanku. Setidaknya aku merasa sedikit tenang. Ternyata aku salah, sebab ada guna membagi ini dengan Kak  Reyni. Dia juga tampak paham dan berusaha mengerti. Meski mungkin hal itu tidak dapat mengubah apa-apa.
Akbar? Dia mencariku? Benarkah itu? Sayang, maafkan aku atas kejadian ini. Aku membuatmu ikut gusar. Aku yakin kau juga merasakan hal yang sama denganku. Ini bukan kehendakku sayang. Maafkan juga karena aku sempat terpikir kau telah melupakanku. Tapi apa buktinya kau mencariku?

@@@








Sebelas..

Aku tidak berniat masuk sekolah. Aku tidak sanggup melihat keadaan yang akan mengasingkanku lagi. Kak Reyni tampak mengerti, dia menemaniku berdiam di seberang sekolah. Meski sebenarnya dia ingin agar aku masuk.
“Kakak nggak sekolah?”
“Kakak udah telat. Biarin kali ini Kakak nemenin kamu...”
Aku hanya terdiam. Kupandangi orang-orang berlalu lalang, beberapa dari mereka adalah orang-orang yang kukenal dan bahkan akrab denganku. Tapi mereka bersikap sama dengan sebelumnya, tidak menganggapku ada. Kak Reyni menyaksikan jelas keadaan itu. Bahkan dia sampai tidak berani berkomentar. Antara tidak mengerti, tidak percaya, atau tidak bisa tahu apa yang sudah terjadi.
Aku acuh. Aku sudah tahu pada keadaan ini. Tapi Kak Reyni tampak memandangku dengan pikiran keras. Aku tahu dia sedang berusaha memahami dan memikirkan solusi atas kejadian ini. Aku benar-benar tidak berguna dan menyusahkan. Apa aku ego? Astaga sudahlah. Ego ataupun tidak, aku tidak mau memikirkannya. Maafkan aku, aku hanya ingin keluar dari lingkaran ini.
“Ran, gimana kalo Kakak masuk trus manggil temen kamu? atau mungkin Akbar?”
“Terus?”, aku terfokus. Sepertinya Kak Reyni punya ide bagus.
“Kakak bakal jelasin semuanya biar dia percaya...”
“Nggak semudah itu Kak...”
“Just try it...”
Aku terdiam. Kupandangi tatapan Kak Reyni yang bersungguh-sungguh. Kesungguhannya membuatku yakin dan percaya padanya. Kau memang kakak yang baik. Aku pun mengangguk, tanda setuju.
Tanpa basa basi lagi, Kak Reyni langsung meninggalkanku dan motornya. Dia melewati gerbang sekolah dan akhirnya hilang dari pandanganku. Dia memanggil Akbar? Aku langsung tersenyum sendiri. Aku akan bertemu Akbar! Oh Tuhan, aku merindukannya. Semoga dia bisa menyadariku di dekatnya. Bahkan kalau boleh aku ingin memeluknya langsung. Hahaha aku begitu kasmaran sayang. Aku sudah tidak sabar melihatmu memamerkan senyuman manismu. Bagaimana kau sekarang? Apa kau bahagia saja atau sama sepertiku? Apapun itu, aku berharap yang terbaik saja.
Tidak lama kemudian, kembali sosok Kak Reyni muncul dari titik hilangnya tadi. Kini dia berjalan bersama dengan seseorang yang sudah kutunggu-tunggu. Astaga, Akbar tampak begitu bersemangat. Aku pun semakin tidak sabar. Sayang, aku di sini.
“Ran!”. Kak Reyni tersenyum padaku, tapi Akbar tampak kebingungan.
“Akbar, kamu kok gitu? Ini Rani...”, ujar Kak Reyni pada Akbar.
“Ah? Maksudnya?”
Akbar kebingungan. Melihatmu seperti itu, semangatku langsung turun. Angan-angan yang tadinya berkumpul di kepalaku, satu per satu sudah berlalu. Kau tidak menyadariku sayang. Ternyata aku memang tidak bisa kau lihat. Mengapa? Ini tidak masuk akal. Apa yang sudah terjadi? Aku hanya bisa  pasrah dan berpuas diri dengan keadaan ini.
“Akbar, Rani ada di situ, kamu nggak bisa liat dia? Dia di samping kamu... Dia kangen sama kamu Dek...”
“Haha Kak Rey jangan ngomong gitu. Kak, di sini nggak ada Rani. Di samping aku? Motornya Kakak kan? Aku emang mau ketemu Rani, tapi kenapa jadi gini? Aku kira tadi Kakak serius...”
“Astaga Akbar! Aku serius! Rani tepat di samping kamu sekarang!” Kak Reyni lebih tegas, dia berusaha meyakinkan Akbar.
“Kak, udahlah...”, kataku pasrah.
“Ran, nggak bisa! Sampe kapan kamu biarin keadaan ini? Seenggaknya Akbar harus tau yang sebenarnya!”
“Kak, maaf, tapi aku bener-bener nggak ngerti Kakak ngomong apa?”, ujar Akbar yang tampak semakin bingung.
Kak Reyni terdiam. Dia kembali berfikir. Akbar masih pada kebingungannya. Aku jadi iba dan tidak tega melihatnya. Sayang, aku tahu perasaanmu saat ini. Aku mengerti apa yang kau pikirkan. Maafkan aku sayang, maafkan aku Kak.
“Akbar, kamu ikut aku!”, ujar Kak Reyni yang langsung menarik tangan Akbar. Aku sendiri tidak mengerti apa lagi rencana Kak Reyni kali ini. Aku menurut saja. Hanya dia yang bisa kupercaya.
Kami bertiga berjalan terus meninggalkan area SMA Yudhistira, mengikuti arah pikiran Kak Reyni. Aku cukup mengekor saja bersama kepasrahan dan rasa iba terhadap Akbar. Sayang, kau tampak kebingungan sekali. Ingin sekali rasanya aku menggenggam tanganmu untuk memberimu ketenangan.
Tiba-tiba Akbar menoleh, kusenyumi dia meski kutahu dia tidak akan sadar. Tapi, ternyata aku salah. Akbar langsung memelukku! Semua tercengang. Apa ini? Akbar menyadariku? Mengapa bisa dan bagaimana? Aku masih kaku.
“Ranii... Astaga kamu ngapain? Kamu tau nggak sih seberapa cemasnya aku? Kamu kemana aja sayang? Kamu kenapa nggak ada kabar selama ini? Kamu tau aku sampe mikir yang enggak-enggak tentang kamu. Aku sampe ngeraguin keadaan kamu karena kamu masih shock!”, Akbar menanyaiku bertubi-tubi. Pelukannya begitu erat, begitu pula ciumannya di kepalaku.
“Sayang...”
Aku ternganga. Astaga benarkah ini? Apa aku bermimpi atau sedang mengkhayal? Tapi pelukanmu begitu nyata sayang. Aku bisa merasakan aliran darahku. Ini nyata!
“Aku justru yang mikir kamu lupain aku sayang... Aku yang sempat ngira kamu nyuekin aku...”, lanjutku. Air mataku menetes. Aku begitu terharu. Akhirnya setelah berhari-hari, aku kembali merasakan kasihmu sayang.
“Astagaa... Kamu! Mana mungkin aku ngelakuin itu. Kamu jangan bodoh, kamu jangan pernah mikir kayak gitu lagi! Kamu tau gimana aku. Kamu harus ingat itu...”
Aku semakin tersedu. Sayang, maafkan aku. Aku tidak bermaksud berpikir demikian. Tapi keadaan telah memaksaku berprasangka buruk. Sayang, aku percaya padamu. Dan kini aku bersyukur kau kembali padaku sayang. Dekap aku, buatlah aku merasa bahwa aku benar-benar tidak sedang bermimpi. Nafasmu terdengar sangat deras sayang, perasaan kita sama.
“Ehmm...”
Aku dan Akbar tersadar. Astaga aku hampir lupa kalau ada Kak Reyni. Haha maaf, kami terlarut.
“Akbar, sekarang kamu perlu tau apa yang udah terjadi...”
Akbar diam. Dia penasaran, tapi sudah lebih tenang. Bukan kepedean, tapi aku memang yakin kalau ketenangannya karena ada aku. Aku yakin karena aku percaya pada perasaanmu terhadapku sayang.
“Orang-orang di sekolah kamu nggak sadar kalo Rani ada di antara kalian... Artinya, kamu nggak bisa liat Rani di sekolah... Sekarang, kita jauh dari sekolah, baru kamu bisa sadari keberadaan Rani...”
“Hah? Kok bisa?”
“Yaaahh..., kalo itu sih nggak tau. Yang jelasnya emang gitu. Jadi selama ini Rani masuk sekolah, ketemu kamu, tapi kamu nggak sadar dan sekolah bilang kalo dia bolos...”
“Trus kenapa kamu nggak nelvon?”, Akbar bertanya padaku.
“Aku udah nelvon tapi nggak kamu angkat sayang... Aku juga udah SMS tapi kamu nggak bales...”
“Haahh? Tapi kan ini... astaga aku makin nggak ngerti...”
“Aku serius sayang...”
Tiba-tiba handphone Akbar berdering. Tapi tidak hanya sekali, deringannya bertubi-tubi menghampiri hingga terdengar nada yang tidak beraturan. Ternyata pesan-pesanku yang masuk.  Astaga, bahkan sinyal sekalipun tidak menghubungkan kami.
Akbar kembali memelukku. Aku membalas itu dengan segenap kerinduan dan kecemasanku yang menyatu. Sayang, aku sama sepertimu. Saat ini aku tidak lagi peduli sekitarku, apakah mereka mau memandang kami dengan pikiran tidak baik atau sebaliknya.
 “Jadi kalian kalo mau berhubungan, mesti ketemu di luar sekolah...”, lanjut Kak Reyni menyelesaikan hipotesanya (kata hipotesa sepertinya terlalu berlebihan haha).
Aku dan Akbar hanya tersenyum pada Kak Reyni. Kak Reyni sendiri hanya geleng-geleng kepala dan memaklumi. Tapi baru kali ini Akbar bertindak seperti ini padaku. Mungkin karena baru kali ini juga dia secemas ini. Haha sayang, kau sungguh romantis bagiku. Sebab keromantisanmu datang di saat-saat tertentu saja. Membuatku seakan terbang oleh rasa tidak menyangka.
Sayang, kau tahu? Aku tidak bisa berbicara banyak padamu. Aku hanya meneteskan air mata. Bukan karena aku sedih sayang, melainkan karena aku terlalu bahagia dan sudah tidak ada kalimat yang tepat untuk menggambarkan kebahagiaanku ini.
Sayang, aku sudah yakin saat ini akan datang. Kau tidak pernah meninggalkanku seutuhnya. Bahkan di saat kau mengucapkan perpisahan di waktu dulu, kau tidak benar-benar meninggalkanku. Kau tetap di sekitarku, mengintai dan menjagaku.
“Sayang...”
Hahah kali ini kau memanggilku ‘sayang’ dengan suara merdumu. Kau kembali membuatku melayang. Sekali saja kau bersikap yang bagi pasangan lain adalah sesuatu yang wajar, bagiku itu sesuatu yang istimewa dan sangat kusyukuri sayang. Aku bagaikan seseorang yang naksir padamu. Haha aku memang naksir padamu, aku naksir pada kekasihku sendiri, orang yang sudah membalas cintaku.
Tiba-tiba handphone Akbar berdering. Ada pesan yang masuk.
Innalillahi wa innailaihi rodjiun..
Adik kelas kita yg bernama Sofiah
Nadya dri kelas X5 baru saja telah
meninggal dunia..
Aku yang ikut membaca pesan di handphone Akbar, hanya bisa diam. Aku tidak mengenal orang yang bernama Sofiah Nadya meski dia juga adik kelasku.
Innalillahi.. Meninggal kenapa?
Kesurupan
Apa?! Kali ini aku langsung tercengang. Mana mungkin meninggal karena kesurupan. Pasti ada penyakit lain.
Ngaco. Mana mungkin!
Ya elah gue serius! Dia kesurupan
hampir sebulan. Udah dibawa ke
dokter, ke RSJ, ke psikiater, ke
uztazd, tetep aja setannya keluar
trus balik lagi! Sampe tadi baru
aja meninggal..
Hahh? Emang kesurupan bisa
ngambil nyawa?
Tapi faktanya emang gitu. Lo kalo
ga percaya kesini aja langsung. Ini
anak ga punya penyakit! Lo bisa
bayangin kesurupan hampir sebulan!

“Rani! Rani!”
Iya, aku tahu apa yang kau pikirkan sayang, aku juga kaget dan sulit untuk percaya. Tapi jika memang itu yang terjadi, kita harus percaya.
“Rani, bangun sayang... Aku mohoon...”
Ah? Sayang, apa maksudmu? Aku memang, astaga apa yang sudah terjadi? Kau dimana sayang? Aku tidak bisa melihatmu.
“Rani, bangun dong...”
Tiba-tiba mataku terbuka! Ada apa ini? Apa yang terjadi? Akbar? Sayang, mengapa kau tampak begitu lemas? Akbar langsung mendekapku dengan erat. Astaga, kau sudah melakukannya tiga kali. Haha tapi aku tetap menyukainya sayang. Aku tak pernah bosan dengan dekapanmu. Tapi kali ini kau tidak sekedar memelukku, kau menangis.
“Sayang?”
“....”, Akbar masih mendekapku, diam dengan air matanya yang kurasakan menetes di pundakku.
“Sayang? Kamu kenapa lagi?”
“....”
“Sayang, kamu jangan buat aku panik...”
“Kamu kemana aja? Kamu tau, aku yang justru panik! Aku kira kamu udah kenapa-napa... Kamu nggak sadar udah hampir dua minggu!”
“Haaaahh??!!”
Apa lagi ini? Hampir dua minggu tidak sadar? Tuhan, aku baru merasakan kebahagiaan, tolong jangan buat aku mengalami yang lebih buruk dari kemarin. Aku mohon Tuhan, aku lelah. Aku butuh istirahat, aku ingin kembali menikmati hariku bersama orang-orang yang kusayangi.
“Kamu kenapa? Liat keadaan kamu, kamu kurus banget. Kamu pucat, dan hampir tiap hari kamu keringat dingin... Rumah sakit nggak bisa nangenin kamu... Kamu tau gimana cemasnya aku?”
“Ah? Tapi maksudnya? Aku baik-baik ajaa... Aku emang sempat sakit tapi cuma sehari dan aku sadar...”
“Haah?”
“Iya bener, aku selalu sadar. Aku ke sekolah, aku ngomong sama kamu tapi kamu cuekin”
“Haah? Rani, sayang, mana mungkin aku gitu. Dari dulu sampe skarang aku nggak pernah bisa cuek sama kamu, apalagi di depan kamu!”, potong Akbar langsung.
“Aku tau sayang, tapi sayang aku nggak bohoong... Ini emang salah, dan baru tadi Kak Reyni buat kita bisa saling komunikasi kayak biasa...”
“Haaaah? A..., ah..., aku nggak ngerti maksud kamu...”
“Aduuuhh...”, aku kebingungan. Apa sebenarnya yang terjadi. Tadi Akbar sudah mengerti, mengapa sekarang dia jadi kembali kebingungan? Apa sebenarnya aku ini.. “Sayang... Apa aku mimpi?”
“Haah? Mimpi? Mimpi apa lagi? Aduh kamu jangan buat aku bingung...”
“Hahahah sayaaangg... Ini semua cuma mimpi!!” Aku semakin yakin. Langsung saja kupeluk Akbar, meski jelas tampangnya semakin kebingungan. Aku tidak peduli, aku terlalu bahagia sayang. Aku tidak menyangka, kemarin itu benar-benar mimpi! Mimpi yang membuatku semakin bodoh karena percaya pada keadaan di mimpi itu. Sayang, kau bingung? Biarlah saja dulu, itu tidak akan lama. Aku akan menceritakan semuanya, tapi belum sekarang. Aku masih ingin memelukmu dan menyusun kalimat agar kau mudah mengerti.
Tiba-tiba handphone Akbar berdering, ada pesan yang masuk. Kulepaskan pelukanku, kubiarkan dia membaca pesannya.
Innalillahi wa innailaihi rodjiun..
Adik kelas kita yg bernama Sofiah
Nadya dri kelas X5 baru saja telah
meninggal dunia..
Aku yang ikut membaca pesan di handphone Akbar, hanya bisa diam. Aku tidak mengenal orang yang bernama Sofiah Nadya meski dia juga adik kelasku. Tunggu, apa yang terjadi? Ini ada di mimpiku. Aku mengalami dejavu. Tuhan, apa maksudnya ini?
Innalillahi.. Meninggal kenapa?
Aku menunggu balasannya. Tapi aku tidak menunjukkan kecemasanku pada Akbar. Pikiranku bercampur aduk. Aku berharap mimpiku tidak bermakna apa-apa.
Kesurupan
Aku tercengang. Sekejap harapanku musnah. Ternyata aku benar-benar dejavu. Apa yang harus aku lakukan? Pikiranku seakan berlari mengejar teka-teki yang belum kususun.
“Sayang, aku mau ke rumah dia...”
“Hah? Siapa? Sofi?”
Terlihat Akbar belum sempat menenangkan pikirannya, aku sudah membebaninya lagi.
“Yaa..., iya, dia, aku mau ke rumah dia...”
“Tapi kamu baru siuman... Kamu istirahat aja dulu...”
“Nggak bisa sayang. Tolong, aku harus ke dia sekarang!”, aku ngotot pada kengototan yang tidak seharusnya kulakukan.
“Enggak.”
“Akbaar..., toloong...”
Aku memelas, aku berharap Akbar bisa memenuhi permintaanku ini. Maafkan aku sayang, aku merasa begitu terpanggil untuk melihat keadaannya. Aku merasa harus meski aku sendiri tidak tahu apa yang ingin kulakukan. Kugenggam tangan Akbar, dia pun akhirnya membalas genggamanku tanda setuju memenuhi permintaanku.
“Makasih sayang...”
Aku langsung bangkit dari tempat tidur dan keluar kamar. Mama dan Kak Reyni ternyata berdiri di depan pintu. Mereka tampak haru begitu melihatku. Mereka memelukku, aku pun membalasnya. Oh sungguh aku merindukan kehangatan ini. Terima kasih Tuhan karena aku masih bisa bersyukur untuk yang satu ini. Tapi maaf, aku harus pergi segera pergi.
Tuhan, kali ini aku tidak mengeluh. Aku hanya berharap pada satu hal, bantu aku. Saat ini aku juga tidak tahu apa yang sedang kulakukan dan apa yang akan terjadi nanti. Aku hanya menjalankan isi hatiku. Aku yakin bahwa Kau menuntunku, Kau bersamaku. Lindungilah aku, mereka, dan buatlah semua indah kembali dengan jalanMu. Amiin...
@@@








Dua Belas..

Motor Akbar melaju dengan kecepatan tinggi. Kendaraan lain dilambung dengan deras. Sederas angin yang bertiup pada kami sebab besarnya tekanan udara yang kami buat. Kali ini mungkin kami sudah melakukan pelanggaran lalu lintas. Aku sama sekali tidak meminta Akbar untuk lebih pelan. Bukan karena aku tidak peduli padanya, tapi aku merasa ini memang harus dilakukan.
Aku merangkulnya dari belakang, upaya untuk merasa aman. Sayang, aku tahu kau sedang bingung. Tapi kau masih juga bersedia mengikuti inginku. Terima kasih sayang. Untuk saat ini, aku memang sedang tergunjing. Bersabarlah, karena kebaikanmu pasti akan terbalas pula.
Kami memasuki blok kecil di ujung jalan yang sudah terpasang bendera putih. Terbesit kekecewaan dari hatiku. Ah, bukankah aku memang sudah tahu kalau ini terjadi? Di ujung pandangan, sudah ada banyak orang berkumpul di suatu rumah. Tidak salah lagi, itulah rumah Sofi.
Aku langsung turun dari motor. Kupandangi sejenak wajah Akbar. Mimiknya belum berubah, tapi dia begitu percaya padaku.
“Ayo masuk...”
Akbar menurut saja dan jalan di belakangku. Kupandangi teman-teman sekolahku dan adik-adik kelas yang tampak haru. Kemudian aku masuk, mendapati sesuatu yang tertutup kain sarung dengan motif batik Solo di balik putihnya kafan. Seseorang menghampirinya, membuka sebahagian kain yang menutupi tubuhnya. Innalillahi, dia benar Sofi. Seketika rasanya detak jantungku berdegup begitu deras hingga aku bisa mendengarnya. Oh God, why do you show this to me? What will I do?
Wajahnya begitu pucat. Aku serasa sulit menerima keadaan ini. Apa yang kulakukan? Dan apa yang harus kulakukan? Tuhan, bantu aku. Kupalingkan pandanganku ke sekeliling, ternyata kudapati Afni duduk di pojok dengan sendunya. Dia menangis sendirian, air matanya terus mengalir tanpa henti. Kuhampiri dia.
“Afni...”
Dia tetap menangis, sama sekali tidak menoleh padaku. Aku mengerti, mungkin dia takut akan mengalami hal yang sama dengan Sofi. Mengingat dirinya sudah menjadi langganan penghuni sekolah yang kini sudah berani merenggut nyawa. Sebenarnya aku sendiri mulai takut. Tapi aku masih mampu membendungnya.
“Af...”, kurangkul tubuhnya yang bergetar. Dia masih tidak menoleh.
“Af..., aku ngerti perasaan kamu... Aku juga ngerasain yang kamu rasa... Entah itu kamu percaya atau enggak... Tapi Af, kita masih punya Tuhan...”
Pelan-pelan Afni menoleh padaku, lirikan matanya begitu tajam. Matanya sudah merah dan berkantung. Astaga, dia seperti sudah menangis sekian lama. Melihat tatapannya, aku jadi merinding dan takut. Aku tidak berani membalas tatapan itu. Aku hanya menunduk dan melepaskan rangkulanku pelan-pelan.
“Eloo...”, ucapnya lirih.
Tuhan, maafkan aku. Aku merasa kesulitan dalam hal ini. Bahkan untuk menatapnya pun aku sulit. Beri aku kekuatan Tuhan.
“Lo datang?”, tanyanya.
“Ii..., iiya...”, jawabku begitu gugup. Astaga Tuhan, aku sudah tidak mengenalnya.
“Untuk tau keadaan lo berikutnya yah?”, tanyanya lagi dengan nada yang tidak lebih baik.
Oh Tuhan, apa maksud pertanyaan itu. Aku sudah tidak tahu bagaimana ekspresinya, tatapan matanya, atau apapun itu kecuali suaranya. Aku terus menunduk. Aku terlalu tidak berani. Kalau bisa rasanya aku ingin pindah menjauh darinya dan pulang memeluk keluargaku. Tapi serasa sulit sekali untuk menghindar. Aku sudah terlanjur jatuh padanya. Aku tidak ingin melakukan kesalahan atau penyesalan. Aku ke sini bukan hanya untuk ini. Aku yakin memang ada yang harus aku lakukan. Aku juga yakin hal ini merupakan salah satunya.
“Dan setelah lo, mungkin gue... Atau gue dulu, baru lo... Hahaha kita udah nggak bisa pungkirin, mereka nggak main-main lagi...”
“Aaf...”
“Hahah kita udah terjebak. Lo tau? Sebelum hari ini, dia udah dibawa ke psikiater, rumah sakit jiwa karena dikira gila hahaha... Uztazd, juga udah datang tapi mereka cuma pergi terus masuk lagi ke Sofi... Sofi sampe lompat-lompat di tempat tidur, main gitar trus nyanyi-nyanyi, ah pokoknya gila! Suaranya bagus loh! Aha, kok gue nggak kepikiran buat ngerekam yah?”, kini Afni mulai mengada-ada.
“Aaf... Udaah...”
“Hahahah udah? Hahah kita bisa apaaah? Bisa apaaaahh?!!”, omongan Afni kini semakin lirih dan bernada tinggi. Lindungi aku Tuhan...
“Af, sadar Af, ingat Tuhan...”
“Hahah gue udah ingat Tuhan... Gue juga sadar kok... Tapi kita emang udah tinggal tunggu tanggal aja aaahahahahahahh...”
“Afnii...”
“DIAM!”
Kali ini nadanya tegas. Seisi ruangan menoleh padanya. Tiba-tiba ada yang menarikku, ternyata Akbar. Dia melindungiku di belakangnya. Sepertinya semua orang sudah tahu apa yang akan terjadi.
“NGAPAIN LO NARIK DIA?!”, ketus Afni pada Akbar dengan tatapan tajamnya, bahkan bola matanya tampak hendak lepas.
“Raniih..., lo nggak usah kemana-manaa... Karena bentar lagi kita bakal nyusul diaah...”, lanjutnya sambil berusaha menatapku yang masih dilindungi Akbar.
“Afni, sadarlah Nak...”, ucap seorang uztazd yang menghampiri Afni.
“APA LOH?! Lo nggak bisa apa-apa bodoh! Lo nggak bisa apa-apa! Lo nggak bisa bantu Sofi! Mungkin lo juga nggak bantu gue! Kalo lo bisa, mana buktinya haaaahh??!! Mana buktinyaaa?!! HAAAAAAAAAAAKKKHHHH !!”, Afni semakin histeris. Tuhan, tolonglah aku.
Uztazd itu kini terlihat membaca ayat suci. Suasana menjadi tegang. Akbar menggenggam tanganku. Aku masih bersembunyi di belakangnya.
“Baca ayat kursi...”, bisik Akbar padaku.
Aku mengangguk kemudian melakukan yang disuruhnya di dalam hati. Aku menunduk. Mungkin dia juga melakukan hal yang sama.
“HAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKHHHHHHHHHHHHHHHHHH!!!!!! AAAAAAAAAAAAAAAARRRGGGHHH HAAAAAAAAAAAAKHHH!!! Lo, loo, berenti ! Kalian semuaa JAAHAAAATTT!!! KURANG AJAR KALIAN! HAAAAAAAKHHH!!!”, suara Afni kini menggelegar mungkin hingga ke ujung blok.
Orang-orang semakin ramai berdatangan dengan rasa penasaran. Tapi beberapa juga berlarian keluar untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan. Aku sendiri kaget dan mengulangi bacaan ayat suciku.
“Sayang, kita keluar aja...”, bisik Akbar.
Aku mengangguk pelan. Dia pun memegangi pundakku dan berusaha keluar ruangan bersamaku. Memang rumah Sofi sudah semakin ramai, membuat kami agak kesusahan melewati mereka.
“Kamu nggak pa-pa?”, tanya Akbar begitu kami sampai di luar.
“Iyah... Kamu?”
“Nggak pa-pa... Tapi kamu pucat...”
“Ah nggak pa-pa kok, aku cuma kaget aja...”
“Kamu nggak mau pulang?”
Aku terdiam. Aku memang serasa sangat ingin pulang. Tapi entah mengapa hatiku berkata bahwa aku masih ingin berada di sini.
Akbar memegangi kepalaku, kemudian membelai dengan lembut. Sayang, kau tahu? Aku sungguh merindukan hal ini. Kau jarang melakukannya sayang. Apalagi setelah kejadian buruk kemarin, aku begitu sakit karena tidak merasakanmu di sampingku. Maafkan aku untuk hal itu.
“Aku cuma berharap kamu selalu baik-baik...”
Astaga apa yang kau katakan itu membuatku serasa hanyut sayang. Sampai-sampai aku terharu dan tak kuasa menepis mata untuk berair. Kau memang pacarku, tapi aku tetap merasa setiap yang kau lakukan padaku adalah sesuatu yang sangat patut kusyukuri.
“Sayang, maaf yah...”
Kau tersenyum. Senyum itu, senyum yang begitu tulus di mataku. Bersama dengan binaran matamu yang seolah menghantarkan cintamu padaku. Sayang, aku merindukanmu. Ingin sekali rasanya memelukmu, merasakan dekapanmu yang begitu hangat dan membawa aura ketenangan untukku. Haha tapi aku masih bermoral sayang, ini bukan saatnya untuk melakukan hal yang kuinginkan itu.
Tiba-tiba sebuah mobil datang beserta beberapa motor. Orang-orangnya tampak kompak mendatangi rumah Sofi dengan terburu-buru. Di antara mereka ada yang membawa kamera, sisanya membawa catatan kecil dan voice recorder. Mereka adalah wartawan.
Orang-orang memberi jalan kepada para wartawan itu untuk memasuki rumah Sofi. Jeritan-jeritan histeris Afni tidak membuat mereka takut meski ada di antara mereka yang tampak cemas. Kini kembali nama SMA Yudhistira akan terangkat oleh fakta ini. Keadaan pun semakin ramai.
Salah satu dari wartawan itu datang menghampiriku dan Akbar. Sepertinya dia membutuhkan saksi atas kejadian ini.
“Selamat siang Dek...”
“Siang...”
“Adek tau tentang kejadian ini?”
“Lumayan Mas...”
“HAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKHHHHH!!!”, kembali jeritan Afni terdengar kencang. Membuat kami kaget dan wartawan yang mewawancaraiku langsung menoleh.
Tiba-tiba kepalaku terasa berat. Mungkin aku terlalu kaget oleh suara jeritan Afni. Tapi semakin lama rasanya semakin sulit kutahan.
“Kamu kenapa?”, tanya Akbar yang menyadari keadaanku.
“Kepala aku...”
“Kamu pusing?”
“....”, aku tidak menjawab lagi, kepalaku terasa semakin pusing sehingga harus kupasrahkan diriku jatuh dan tertahan oleh Akbar.
Wartawan tadi spontan kembali padaku dan ikut membantu menahan berat badanku. Kini jeritan-jeritan Afni terdengar semakin kencang. Semakin lama jeritan itu terngiang dan memenuhi benakku. Tuhan, tolong aku.
“Ranii?”
Suara Akbar menyisip di antara suara-suara dan bayang-bayang wajah Afni. Sayang, bantu aku. Bawa aku pergi dari sini. Aku tidak mau lagi mendengar suara-suara itu.
Kini ketakutan sudah menghantuiku. Mengapa ini terjadi lagi padaku? Apa aku sudah salah langkah? Aku ingin bebas. Aku ingin jauh dari dunia ini, aku ingin melupakan Sofi dan Afni. Aku tidak ingin kembali seperti kemarin. Biarkan aku istirahat. Mengapa baru sejenak aku kembali pada duniaku, aku sudah terusik lagi?

@@@




Tiga Belas..

“Rani?”
Kubuka mataku kembali, Akbar dan kedua orang tuaku sudah mengerumuni dengan keharuan. Kudengar orang-orang riuh di belakang membicarakan satu topik yang sama. Dari sudut yang lebih jauh masih juga kedengaran jeritan-jeritan histeris.
“Sayang?”, ujar Mama.
Kali ini bukan mereka yang kucari, bukan mereka yang kuinginkan. Aku bangkit, Akbar dan orang tuaku ikut bangkin denganku. Aku tidak peduli dengan kegelisahan mereka. Aku harus menemui seseorang.
Kerumunan orang di depan mataku, kupandangi mereka satu per satu sebisaku. Beberapa dari mereka menghindari tatapanku, bahkan ada yang langsung berlari meninggalkan tempat seperti ketakutan. Tapi ada juga yang menatapku dengan tajam. Apa dia yang kucari? Kuhampiri dirinya, hingga jarak kami sudah begitu dekat. Kupandangi kembali dirinya dari atas hingga ke bawah, kemudian pelan-pelan kusentuh tangannya. Bukan dia!
“RANIII!!!!”
Aku spontan menoleh pada arah suara itu. Tidak asing lagi, itu Afni. Tapi kini bukan hanya sebatas suara lagi, dia sudah berdiri di belakangku. Tatapan matanya begitu tajam. Lebih tajam dari sebelumnya. Aku sendiri ragu, apa dia masih Afni? Haha tentu saja bukan lagi.
Orang-orang semakin banyak yang menghindari kami, bahkan Kak Reyni sudah mundur karena ketakutannya. Kini tinggal Ayah, Mama, dan Akbar di antara aku dan Afni.
“Akhirnya lo datang Ran...”, ujar Afni lirih.
Aku hanya diam menanggapinya. Sementara Mama langsung mendorong Afni agar menjauhiku. Tapi sayangnya Mama tidak sekuat itu. Hingga seorang uztazd menarik Afni dengan paksa.
“APA SIH LO?!! NGGAK USAH IKUT CAMPUR!”
Kupandangi saja pemandangan ini. Afni dan uztazd itu tampak ‘berkelahi’, tapi Afni dengan kekuatannya masih mampu berdiri tegak. Para wartawan berkali-kali mengedipkan cahaya kameranya. Seperti kehausan oleh berita.
“Rani, lo mau ikut gue?”, ajak Afni sambil mengulurkan tangannya.
Gemuruh kembali terdengar. Mereka bersuara dengan kecemasan yang sama. “Jangaaann!!”, begitu kata mereka. Mama bahkan sudah menjerit kencang. Sepertinya beliau mulai histeris. Aku menoleh ke sekeliling, ternyata benar, Mama sudah terbaring lemas sambil berteriak-teriak. Ayah dan Kak Reyni juga tampak sibuk menenangkan Mama. Sementara Akbar, dia tenang memandangku. Entah apa yang ada di pikirannya, dia tampak beda seorang diri.
Kemudian aku kembali memandangi Afni. Dia tersenyum padaku, tapi senyumnya begitu jelek di mataku. Cuih! Serasa aku ingin meludahi langsung wajahnya.
“Aku nggak bakalan ngikutin kamu!”
Mata Afni tiba-tiba melotot dan marah. Tapi kali ini aku tidak takut dengan reaksinya itu. Aku masih berdiri dengan tenang.
“PENGECUTT! HHHAAAAAAAAAAKKKKHH!!!”, Afni kembali histeris. Bahkan lebih buruk dari sebelumnya. Dia menarik  rambutnya sendiri, hingga dia menangis kesakitan tapi tidak juga melepas tarikan rambutnya.
“Kenapa kamu?”
“Kenapa? KENAPA?! Hahahah pengecut lo! ELO PENGECUT! Elo tau yang dirasain Kim, elo tau itu! Lo juga kasihan sama dia! Tapi kenapa lo nggak mau bantuin dia HAAAAAAAAH??!! Kenapa lo nggak bisa?! Lo nggak berterima kasih udah disadarin haaah?! Lo udah dikasih kesempatan buat ketemu keluarga lo! Pacar lo! Tapi lo malah nggak mau balik?! KENAPAAA?! Lo takut haaaaah?! PENGECUUUTT!!”
“Aku nggak mau balik Af, aku nggak mauh! Aku masih bisa hidup normal! Aku masih bisa kayak biasa! Dan kamu juga pasti masih bisa!”
“ENGGAAAK! Gue bukan pengecut kayak lo!”
“Tapi Aaf...”
“Kim udah nunjukin dirinya, harusnya lo sadar! Lo balik! Bantuin dia! Bertahun-tahun sendiriaan, nggak ada yang nemeniiin... Bahkan Nathan, dia nggak bisa bareng-bareng sama Kim walopun mereka satu dunia! Lo tau rasanya! Lo udah ngerasain ituh! Apa kurang cukup haaah?!”
“Af, itu masa lalu yang udah nggak bisa dipungkiri! Udah nggak bisa lagi diapa-apain. Cukup mereka nggak usah diganggu, mereka nggak akan gangguin kita!”
“HAAAAAAAAAAAAAHHH BACOTT!!”
“Afni!! Kamu sadar! Apa yang bakal kamu dapet kalo kamu balik ke Kim? Apa yang bakal kamu lakuin? Hidup sendirian? Kim juga nggak nemenin kamu kan?! Semua sendirian! Jadi percuma, semua percuma! Kamu mesti bertahan Af! Kembali ke kehidupan kamu!”
“HAAAAAAAKKKHHHH !!!!!”, lagi-lagi Afni histeris. Dia menutup telinganya dan langsung terjatuh.
“Afni, kembali, bareng sama aku...”
“KURANG AJAR KAMU!”, kini ketusan suara Afni berubah menjadi parau. Kali ini bukan lagi Afni.
“Balikin Afni!!”
“HAAAAAAAAKKHH!! KAMU UDAH KURANG AJAR!! KURANG AJAAR!!”
“Aku cuma minta satu hal, kamu jangan ganggu kami, tolong!”
“HAAAAAKKHH!! Kalian memang EGOIS! Kami juga butuh ketenangan! Tapi kalian ganggu! Biarkan dia sama saya!”
“NGGAK! Kamu jangan ajak-ajak dia! Dia nggak salah!”
“Lantas siapa yang salah? HAAAHH?!!! Kamu? KAMU YANG SALAH!!”
“Kenapa aku?”
“KAMU KURANG AJAR! Sebelumnya memang kamu nggak pernah peduli! Sekarang kamu udah liat semuanya AHAHAHAHAHAHH...!!”
“IIYA!! Aku emang udah liat semuanya! Balikin Afniii! BALIKIIINN!!!”
Pertengakaran kami semakin memanaskan suasana. Orang-orang bergerak seirama dengan suara kami. Saat nada suara meninggi, mereka menghindar, dan saat suara menurun, mereka kembali mendekat perlahan. Sementara keluargaku antara menenangkan Mama dan mendoakanku, begitu pula dengan Akbar.
Tuhan, aku berlindung atasMu. Aku tahu, kekuatan ini datang dariMu. Aku tahu Engkau yang membangkitkanku. Maka atas kesadaran ini pula, aku memohon padaMu, mudahkanlah penyelesaian ini Tuhan. Mudahkanlah aku untuk menyelesaikan tugas dariMu. Jika memang ini sudah saatnya untuk Sofi pergi, maka berikan kami keikhlasan. Namun tunjukkanlah kekuasaanMu, dengan menolong kami yang masih bisa tertolong. Amiin.
Afni terdiam dan menunduk. Suasana jadi hening olehnya. Kupandangi wajahnya yang lesu, aku sungguh kasihan padanya. Dia pasti lebih lelah dari aku. Dia sudah lebih banyak merasakan lika-liku dibandingkan aku. Dia sudah sangat kuat selama ini. Dia sudah bertahan. Padahal aku sendiri sebelumnya sudah sangat mengeluh pada keadaanku. Kekuatanmu patut kukagumi Af, tapi kumohon sadarlah. Bantulah dia Tuhan...
“Aaf...”
Tiba-tiba air mata Afni menetes pelan. Tapi tetesan air matanya mengalir tidak ada hentinya. Tampak begitu sedih. Kudekati tubuhnya, kubelai wajahnya yang sudah pucat pasi.
“Aku cuma mau tenang...”, ucapnya dengan berbisik.
Tuhan, sungguh kasihan dirinya. Kasihan pula pada Kim. Aku tahu sekali apa yang dibutuhkannya. Tapi maafkan aku, karena aku juga punya kehidupan sendiri yang sudah seharusnya kujalani. Kita memang berbeda Kim. Kita tidak akan bisa menyatu, tidak akan bisa bersama. Kau tidak akan bisa tenang di duniaku dengan merasuki raga orang lain, dan begitupun denganku yang juga tidak akan bisa tenang berada di duniamu.
“Aku berdoa untuk kamu...”, ucapku pelan.
Sebuah kalimat yang barusan keluar dari mulutku membuat Afni menatapku sebentar, kemudian pelan-pelan menutup matanya. Mungkin aku tepat menyentuh hatinya. Yah, aku memang akan mendoakanmu Kim. Bukan cuma aku, melainkan kami. Dengan harapan agar kau tenang di duniamu, dan kita tidak akan saling mengganggu satu sama lain. Bukankah itu yang kita harapkan? Sebuah ketenangan. Kau adalah khitan dari Kim, aku tahu kau lahir dengannya, hidup dengannya, setiap saat bersamanya, aku tahu kau sulit merelakan kepergiannya yang mengerikan itu. Namun tiada cara lain agar kau tenang, selain mengikhlaskan kepergian saudaramu.
Tiba-tiba Afni kembali membuka mata. Aku terkaget dan spontan mundur sedikit. Dia membuka mulut. Matanya menatap ke atas hingga bagian yang hitam hampir tak terlihat. Orang-orang langsung riuh, banyak yang berlarian ke luar rumah.
Apa yang terjadi padamu? Afni kemudian menunduk, bersuara keras yang tidak tahu apa artinya. Dia muntah? Dia seperti muntah. Tubuhnya langsung lunglai, dia tampak antara sadar atau tidak. Matanya masih terbuka, tapi tidak berekspresi. Uztazd bilang, dia sudah selamat. Orang-orang kembali mendekat, penasaran melihat kondisi Afni yang kini sudah begitu lemas. Dia seperti kehilangan sesuatu dalam dirinya.

@@@

Warga berderet dengan pakaian rapi beserta kerudung pada para wanita dan peci pada para lelaki. Mereka semua duduk bersila di lantai. Ada yang membacakan ayat suci, berdoa. Suara uztazd membawakan ceramah terdengar jelas. Malam ini merupakan malam pertama taksyiah atas meninggalnya Sofi. Kami mendoakan agar ia diterima dengan baik di sisi Tuhan. Selain itu, kami juga tidak melupakan janji untuk mendoakan ketenangan Kim dan teman-temannya. Setidaknya dia sudah berbuat baik dengan bersedia membebaskan Afni.
Aku duduk di luar bersama keluargaku dan Akbar. Meski tubuh Mama masih lemas, tapi beliau menyempatkan dirinya untuk kegiatan ini. Setidaknya mungkin hanya ini yang bisa dilakukannya untuk berterima kasih.
Di sampingku juga ada Afni dan keluarganya. Dia masih sangat lemas. Dia hanya bisa duduk bersandar. Tapi keceriaannya sangat tergambar di wajahnya. Bisa kubayangkan seberapa bahagianya dia yang akhirnya terlepas dari belenggu ketakutan. Alhamdulillah..
Aku menunduk, tanpa bermaksud apa-apa, kulihat telapak kaki kananku. Kemudian aku tersadar pada satu hal. Memarnya sudah hilang. Aku teringat pada nyeri di punggungku, kutegakkan punggungku, tidak terasa nyeri lagi. Kucari titik yang dulunya nyeri, tapi  tidak lagi kutemukan. Padahal tadi pagi nyeri masih terasa, memar di kakiku juga seingatku masih ada walaupun sudah berkurang. Astaga, ini ajaib!

@@@






Empat Belas..


SMA Yudhistira Menelan Nyawa
Rabu lalu (8/2), SMA Yudhistira kembali menggencarkan
kota akibat ‘penyakit lama’ yang kini sudah memakan kor-
ban. Korban bernama Sofiah Nadya yang sebelumnya du-
duk di kelas X5. Saat melayat ke rumah duka, didapati sa-
lah satu siswi SMA Yudhistira bernama Afni T. Maxi se-
dang dalam kondisi di bawah sadar (kerasukan). Menurut
pengakuan saksi, beberapa kali gadis yang akrab disapa
Afni ini menjerit histeris dengan menyebutkan bahwa gili-
rannya akan datang berikutnya. Beberapa orang sudah be-
rusaha menenangkannya, namun baru berhasil setelah 2 jam
kemudian.
Mirisnya, seorang siswi (Rani) yang ingin  kami wawancarai
tiba-tiba pingsan. Beberapa saat kemudian dia bangkit dan
melakukan pembicaraan dengan Afni. Pembicaraan tersebut
akhirnya membuat Afni tersadar dari kerasukannya.(Ars.)

Kuletakkan koran yang barusan kuterima pagi ini. Kejadiannya baru kemarin, tapi beritanya sudah termuat di koran dan terletak di halaman depan. Apa yang kira-kira akan terjadi berikutnya. Bagaimana nasib SMA Yudhistira? Aku sendiri tidak menyangka ini terjadi dalam hidupku. Bahkan semalam aku tidak bisa tidur nyenyak. Untungnya Akbar menemaniku tidur seperti biasa melalui telepon.
Keluargaku juga merasa tidak jauh beda denganku. Mereka bahkan berpikiran untuk memindahkanku dari Yudhistira sekolah. Hanya saja aku sudah kelas XII dan tidak lama lagi akan mengikuti ujian nasional. Beberapa tetangga juga tampak ikut menanggapi kejadian ini. Aku sempat mendengar apa yang mereka pergunjingkan.
Tapi Tuhan Maha Adil, dalam duka ini, Dia membuatku bersyukur. Mengingat kejadian kemarin yang sungguh suram bagiku. Beruntung aku tidak sampai melakukan hal-hal nekat. Itu semua karena Tuhan masih menjagaku. Ada yang bilang, ‘asal aku tidak mati saja, semua yang kualami ini adalah pelajaran untukku’. Aku memaknai pernyataan itu. Terima kasih Tuhan, Kau mengaruniahiku kekuatan untuk bertahan dan ada dalam kondisi yang baik hingga saat ini.
Terngiang lagi ketakutan-ketakutanku di masa lalu, beserta peristiwa-peristiwa kejam itu. Ayahku, dia sehat wal afiat. Akbar, dia tidak pernah masuk rumah sakit. Mama, dia tidak pernah menamparku. Teman-temanku, mereka bukan tidak menganggapku, mereka memang tidak bertemu denganku. Nama baikku di sekolah, aku masih murid biasa yang tidak dicap dengan predikat pembolos. Semua ini memang hanya cerita belaka.
“Ran... Kamu mau berangkat sama Reyni?”, tanya Ayah yang langsung menyadarkanku.
“Ah? Ohh iya iya, terserah aja...”
Aku menoleh pada jam dinding di ruang tengah, 6.20. Memang sudah waktunya aku berangkat sekolah. Juga sudah waktunya aku memulai hariku lagi. Apa kabar Yudhistira? Meski kusadari semua yang telah terjadi di antara kita, aku tidak membencimu. Karena kau tetap menjadi saksi dimana aku bertemu sahabat-sahabatku, dan tentunya kekasihku.

@@@

Pagi yang begitu segar. Aku merindukan suasana ini. Angin berhembus seiring dengan laju motor matic Kak Reyni yang mengantarkanku ke SMA Yudhistira. Meskipun perjalanan tidak begitu lancar alias sedikit macet, senyumku tetap terbentuk rapi. Oh Tuhan, maafkan aku jika sebelumnya aku kurang memaknai nikmat anugerahMu.
Tiba-tiba handphoneku bergetar. Ada pesan dari Akbar.
I start my day,
I found you girl.
The one that always I hope.
I wish you’ll get your best
day with me.
Cz you’re the love :*

Senyumku semakin merekah. Aku kembali terharu pada ulah Akbar. Aku tidak menyangka dia bisa melakukan hal ini. Dia sama sekali tidak romantis dan tidak tahu merangkai kata, sungguh. Selama bertahun-tahun aku mengenalnya, baru kali ini dia merangkai kata untukku.

Itu buatan kamu sayang?

Aku bukan tidak yakin bahwa Akbar yang merangkai kata itu, aku hanya ingin menanyakannya.

Ga percaya ya udah -__-
Haha bukan ga percaya sayang.
Cuma ga nyangka :p
Makasih banyak sayangkuu :*
Hohoho ebat kaaan ;))
      Hahaha iya sayang (y)
      Aku sampe kaget bacanya hihi
Hahahah sebenernya aku berbakat nulis gitu..
Yaah Cuma aku nggak mau
Sombong aja hahaha
      -____-
                                    :p :*
      The love was coming bcz of you
      I could read your sincere to me
      dear.. By your shine eyes, and
      your wonderful smile..
      Dear, I believe that you could
      feel it too. Bcz I’m same with
      you. You and me both, at one.
      You’re my everything :*
Hahahaha ikut2an rangkai kata :p
      Biarin blweeeekk :p
     
Tanpa terasa, ternyata aku dan Kak Reyni sudah tiba di depan gerbang SMA Yudhistira. Aku pun menuruni motor dan pamit. Sejenak kupandangi sekolahku ini. Akhirnya!
Kulangkahkan kakiku dengan yakin. Orang-orang berlalu lalang dengan mimik yang berbeda dari kemarin, lebih tepatnya berbeda dari yang di mimpiku. Mereka tampak jauh lebih baik. Senyumku terus merekah.
Begitu sampai di koridor kelas XII, dari depan kelas Amel sudah melambaikan tangan padaku. Aku tersenyum padanya dan langsung mempercepat langkahku.
“Ameell...”
Aku langsung merangkul Amel saat mendapatinya, dia pun membalas rangkulanku. Kemudian Yhuni dan Tika ikut keluar dan ikut merangkulku.
“Huu kamu sakit lama banget sih!”, ujar Yhuni.
“Hoho sorry mamen...”
“Hahaha kamu tau nggak, Akbar jadi pendiem lho...”
“Hah? Kok bisa?”
“Kena sindrom kangen kali hahahahah...”
Kami terus bercanda ria. Astaga, benar-benar aku serasa hidup kembali. Perasaan ini jadi sulit kujelaskan. Aku hanya terus-terusan bersyukur pada Tuhan. Kini aku merasakan jelas bahwa kita akan merasakan kesyukuran dan kebahagiaan yang luar biasa saat kita menggapainya setelah berhasil menjalani dan merasakan kepahitan yang juga luar biasa. Seperti hari ini. Aku bahkan sebelumnya bahagia tapi tidak sebahagia ini. Mungkin karena sebelumnya aku belum menyukuri apa yang Dia karuniakan kepadaku, serta tentunya aku belum mendapatkan pelajaran dari Tuhan. Ternyata Tuhan menyusun skenario kehidupanku dengan begitu indahnya.

@@@

“Ran! Ada gosip!”, panggil Amel dengan semangat ’45.
“Apaan sih?”
“Denger-denger nih, sekolah kita mau ditutup!!”
“Haaaahh?”, spontan aku kaget. Tentu saja! Kalau SMA Yudhistira ditutup, apa kata dunia?
“Kaget kan? Hhh aku juga masih belum percaya sih... Tapi katanya sih ketua yayasan udah ngebicarain tentang ini...”
“Kok bisa sampe mau ditutup?”
“Yah mungkin karena kasus tempo hari, si Sofi... Kan sampe masuk tivi tuh beritanya...”
“Hmmm...”
“Jangan hmm aja!”
“Yah terus mesti gimana dong?”
“Mikiir!”
“Mau mikir apaan?”
“Hmm nggak tau.”
Kadang-kadang temanku yang satu ini memang aneh. Lebih tepatnya aku tidak tahu disebut apa sikapnya itu. Yang jelas dia tetap teman baikku.
“Jadi kita gimana kalo sekolah ditutup?”, tanyaku.
“Nah, itu dia! Kita sekolah dimana?”
“Apa kita bakal gabung sama gedung pusat?”
“Nah kayaknya sih gitu...”
“Apa muat?”
“Katanya sih sekolah pusat lagi bangun gedung baru. Jadi anak sini baru gabung ke pusat abis semester...”
“Berarti kita nggak ikut pindah dong. Secara kan kita udah lulus...”
“Iya yah...”
“Iiiihhh!!!”, lama-lama aku geram. Sanking geramnya aku langsung berlalu dari Amel. Dia hanya mengikutiku karena menyadari kesalahannya.
SMA Yudhistira akan ditutup akhir semester ini mengingat kejadian tempo hari pada Sofi. Meski secara pribadi menurutku ditutupnya SMA Yudhistira tidak hanya melindungi siswa-siswi yang lain, tapi juga untuk melindungi ‘mereka’. Setidaknya dengan ini, mungkin bisa membantu mereka untuk lebih tenang.
Sekolah itu memang sudah tua, dan sudah waktunya untuk beristirahat. Selamat tinggal Yudhistira. Apa yang sudah terjadi di balik layarmu, merupakan peristiwa-peristiwa yang selamanya menjadi sejarah bahkan di era modern ini. Gedung-gedungmu, bagai bernyawa dan menyimpan beribu misteri.

Kini semua telah berakhir, masa-masa sulit yang bahkan masih sulit kupahami hingga saat ini. Tapi harus kuakui, ini memang telah terjadi di hidupku. Tidak hanya sekedar singgah, melainkan juga menyapa dan mengajakku untuk masuk di dalamnya.
Aku menyadari, semua ini juga berawal dari ulahku sendiri. Selain karena aku kurang menyukuri hidupku, aku juga terlalu acuh terhadap peristiwa-peristiwa di sekitarku. Hingga akhirnya ‘mereka’ menunjukkan diri dan meyakinkanku dengan cara yang salah. Tidak bisa dipungkiri, kita tidak bisa melihat semua yang ada di dunia ini, tapi kita patut memercayainya meski mungkin itu jauh dari kata rasional. Mereka juga ingin diakui. Entah sekedar diakui, dihormati, dan juga ditolong.
Gelap, gelap, gelap bersama jembatan yang rusak. Kakiku melangkahi bagian yang renggang, menginjak kayu jembatan yang masih bisa kuraih. Sekilas terlihat terjalan jauh ke bawah. Aku tersadar. Teringat pada keadaan itu. Tiba-tiba pikiranku menanyakan satu hal, apa mungkin ini berhubungan?
Kembali kuingat-ingat perjalan sewaktu itu. Saat pendakian, bapak itu sempat mengakatan bahwa belum bermimpi jika belum ke Goa Mimpi. Apa itu artinya setelah ke Goa Mimpi aku akan bermimpi? Apa itu benar? Jadi bapak itu tidak sekedar bergurau atau berandai-andai? Antara percaya atau tidak, tapi inilah yang telah terjadi. Aku mengalami mimpi panjang dan terlibat dalam peristiwa ini. Aku kembali teringat, pernah ada kasus pemerkosaan di goa itu. Apa Kim berhubungan? Ah aku tidak mau memikirkannya lebih jauh. Semua ini sudah berakhir. Aku akan menjalani hidupku kembali. Peristiwa ini hanya pengalaman bagiku, sebagai kenang-kenangan dari Yudhistira sebelum akhirnya nanti aku akan meninggalkannya.
“Ran!”
Seseorang memanggilku, sedikit mengagetkanku. Aku langsung menoleh, kudapati Afni tersenyum padaku. Kali ini senyumnya sungguh berbeda dari sebelumnya. Begitu pula dengan pancaran binar matanya yang enak dipandang. Kau benar-benar Afni.
“Gimana keadaan lo?”
“Udah baikan. Semalam udah keluar rumah sakit. Thanks yah...”, jawab Afni dengan senyumnya.
Dia memang sempat dibawa ke rumah sakit pasca kejadian itu. Aku lega melihat keadaannya saat ini. Meskipun bibirnya masih pucat, bagiku ada aura yang dia pancarkan.
@@@











Lima Belas..

Dua bulan kemudian..
Akbar memegangi tanganku, menatapku lebih dalam. “Ran, maafin aku kalau ngecewain kamu. Selama ini, sebenarnya kita nggak dalam status pacaran. Aku nggak pernah nembak kamu lagi setelah aku putus dari mantan aku, dan aku nggak pernah bilang kalo kamu pacar aku. Semua ini berjalan seiring dengan kedekatan kita dan kamu nganggap aku sebagai pacar kamu lagi. Makanya, biarpun kamu selalu manggil aku sayang, aku jarang ngucapin kata itu buat kamu. Jujur, aku emang sayang banget sama kamu, dan kamu tau itu. Tapi, aku ngerasa hubungan kita nggak butuh yang namanya pacaran. Maafin aku Rani... Selama ini, aku ngebiarin ini terjadi karena aku nggak bisa ngebiarin kamu sedih dengan terus nungguin kesiapan aku. Aku kenal kamu Rani, kamu selalu nungguin aku. Aku nggak bisa tenang ngeliat sikap kamu yang kayak gitu... Ran, kita udah lulus, bentar lagi kita kuliah, kita bakal pisah tempat, dan aku harap kamu bisa untuk ngerelain aku, kamu bisa belajar untuk tanpa aku... Jangan mikirin aku Ran, pikirin kuliah kamu. Belajar yang giat, biar kamu bisa banggain orang tua kamu, biar kamu bisa bahagia... Aku juga akan bahagia kalo ngeliat kamu bahagia Ran... Aku yakin, suatu saat nanti, kita bakal dipertemuin lagi, di saat kita berdua udah benar-benar siap. Jangan sedih Raniku, aku masih pasangan kamu, dan hati aku masih untuk kamu...”
Air mataku terus mengalir. Aku tidak menyangka kalimat-kalimat itu keluar dari mulutmu sayang. Kau pasti sedang berbohong, atau mungkin kau sedang merencanakan sesuatu untuk mengerjaiku. Iya kan?
“Rani...”
“Apa artinya semua ini? Apa artinya?! Kamu nganggep aku ini apa??”
“Ran... Kamu tau perasaan aku...”
“Iyah! Aku tau perasaan kamu! Tapi sekarang aku juga bingung karena kalo kamu sayang sama aku kenapa kamu ngelakuin ini?”
“Rani, kita udah bukan anak kecil lagi. Aku tanya sama kamu, apa gunanya status pacaran?”
“Tapi tetep aja Bar...”
“Rani, maafin aku... Tapi kita ini udah sama-sama dari dulu, apa artinya status pacaran? Aku cuma nggak siap. Aku nggak berani...”
“Nggak berani apanya?”
“Pacaran itu penuh dengan permasalahan Ran... Aku nggak sehebat yang kamu pikirin. Aku belum siap untuk ngebagi pikiran aku antara pacar dengan kehidupan aku yang lain. Kamu tau aku kan? Kalo aku punya masalah dengan pacar, aku nggak bisa konsen belajar. Rani, biarin dulu kamu belajar, aku juga mau gitu. Aku yakin kok, abis ini kita bisa ke hubungan yang lebih serius... Kamu mau kan?”
“Aa..., aaku nggak percaya ini... Kamu udah tega sama aku...”
“Rani, kamu perempuan yang bisa nunggu aku, iya kan?”
Air mataku terus mengalir dengan semakin deras. Astaga Tuhan, aku tidak percaya dengan yang terjadi. Orang yang kucintai, kubangga-banggakan, kukasihi, kumimpikan, dan selama ini bersamaku tega melakukan hal ini. Ternyata selama ini dia bukan pacarku, dia tidak menganggapku sebagai pacarnya. Lalu apa artinya? Hubungan kami hanya sekedar berbagi kasih bersama. Kalau kau tidak menganggapku pacar, setidaknya katakan bahwa kau menganggapku sebagai kekasihmu. Karena bagiku itu jauh lebih baik dari kata pacar. Masalahnya yang membuatku sangat sakit kali ini adalah kata-katamu sayang. Mengapa kau terlalu bodoh untuk mengutarakan dengan kalimat yang lebih baik di telinga dan perasaanku?
“Akbar, kamu tau? Kamu emang nggak pernah nembak aku lagi, tapi aku tetap ngerasa nyaman ngejalanin ini semua. Itu karena aku tau kalo kamu juga sayang sama aku, dan aku mikir kalo kamu ini udah jadi pacar aku. Ternyata bukan. Walaupun gitu, aku tetap nggak pa-pa selama kamu masih sayang sama aku. Tapi, apa yang akan kamu bilang nanti, kalau suatu saat kita ketemu lagi lantas kamu udah sama cewek lain? Kamu bakal bilang kalo kita emang nggak pernah pacaran?”
“Aku nggak mungkin ngelakuin itu Ran...”
“Nggak mungkin? Apa kamu seyakin itu? Akbar, siapa yang tau kalo di sana ada apa-apa dan kejadian yang bikin kamu harus jadian sama cewek lain?”
“Rani...”
“Atau gimana kalo kamu pergi semakin jauh dan aku nggak tau kamu di mana? Apa aku harus tetap nungguin kamu? Apa harus gitu padahal aku sendiri nggak tau kejelasan antara kamu bakal balik ke aku atau malah mungkin udah lupa sama aku atau sekedar nganggap aku sebagai masa lalu kamu?”, aku mulai emosi, berbagai pemikiran sudah muncul di kepalaku. Membuatku tidak kuasa menahan amarah melalui aliran air mata dan kata-kataku.
“Rani... Kita akan tetap berhubungan...”
“Gimana kalo tiba-tiba kamu menghilang?”
“Aku nggak akan ngelakuin itu. Tinggalin aku kalo aku udah berani menghilang dari kamu...”
Aku terdiam. Hanya air mata yang berbicara. Akbar langsung memelukku, menenangkanku dalam dekapannya. Akbar, mengapa harus ada pembicaraan seperti ini sayang?
“Kamu ingat? Aaku pernah ngelakuin banyak cara supaya aku bisa lupain kamu, supaya aku bisa lepas dari kamu. Aku pernah sinisin kamu, aku pernah bencii banget sama kamu, aku pernah marah dan ngamuk sama kamu, dan aku pernah berhasil nggak berhubungan sama kamu beberapa bulan... Semua itu karena kamu berhasil cuek sama aku. Kamu berhasil untuk bersikap biasa aja tanpa aku. Saat itu aku mikir, kenapa aku nggak bisa? Bahkan setiap kali aku ingat sama kamu, aku jadi marah banget sama diri aku sendiri. Kenapa aku harus tetep peduli dan susah untuk bersikap kayak kamu?!”
Akbar, kali ini kau menatapku dalam. Kau tidak peduli dengan sekitarmu. Matamu seolah mendengarkan isi hatiku saat ini. Saat ini aku ingin sekali roboh. Aku sudah lemah sayang. Aku sudah begitu sakit.
“Sampai akhirnya, aku bertahan... Aku masih berdiri di sini, di samping kamu, meskipun memang aku nggak berstatus sebagai pacar kamu. Karena aku tau diri aku, aku tau apa yang aku butuh... Aku cuma butuh kamu sayang... Aku butuh untuk bisa berbagi kasih sama kamu, bisa manggil kamu sayang, bisa belai rambut kamu, bisa genggam tangan kamu, bisa dengar keluhan kamu dan bantu kamu, aku butuh semua itu Bar... Kamu nggak pernah nembak aku, tapi akhirnya kamu sadar dan ngelakuin ini semua sama aku... Aku tau kamu juga menikmati, karena aku tau yang kamu rasain Bar...”
“Tapi sayang, kamu tadi bilang, aku boleh ninggalin kamu kalau kamu udah nggak ngasih kabar? Kamu masih bisa bilang gitu? Itu nggak mungkin Bar... Aku udah terlanjur hidup sama kamu..., dan aku udah terlanjur yakin untuk selamanya hidup sama kamu...”
Kau menyentuh wajahku. Kau basuh air mataku yang mengalir tanpa kontrolku. Sentuhan tanganmu amat kurasakan dari tiap titiknya. Syaraf-syaraf di kulitku membuat sentuhanmu itu mampu meredakan perasa yang lain.
“Karena kamu yakin itu, kamu juga harus yakin kalo aku benar-benar akan selamanya sama kamu. Rani, permintaan aku sederhana sayang, aku cuma mau berteman sama kamu selamanya. Entah gimana itu kalau emang akhirnya kita bakal sama-sama, aku yakin kita pasti sama-sama... Maafin aku, aku cuma butuh waktu. Untuk saat ini aku nggak bisa ambil keputusan apa-apa, aku belum bisa untuk mikirin ini Ran... Kasih aku waktu, aku mau fokus kuliah dulu. Kamu juga gitu yah... Kita bukan anak kecil lagi Ran... Aku juga nggak mau pisah sama kamu, tapi aku mau terus berteman sama kamu... Permintaan aku sederhana kan? Aku mohon...”
Permintaanmu sungguh sederhana sayang. Aku bisa dan sangat bisa melakukannya. Karena aku sendiri sudah yakin bahwa memang itu yang akan terjadi berikutnya. Selamanya aku akan terus menggantung padamu. Meski mungkin jika kekhawatiranku terjadi, aku akan menghampirimu dan menyadarkanmu padaku. Tapi beruntung karena kau bukan laki-laki seperti itu. Aku baru tersadar lagi akan hal itu. Mengikut serta kesadaranku atas sikap kekanakanku ini. Maafkan aku sayang.
Aku teringat pada masa lalu, saat kau masih bersama pacarmu sebelumnya. Kedekatan kita berdua, namun statusmu dengan dirinya, membuatmu seringkali harus terpikir keras. Keadaan itu kusaksikan, tidak jarang kau jadi tidur di kelas karena sakit kepala. Aku paham bahwa kau menghindari keadaan itu terjadi lagi. Aku pun juga tidak ingin melihat pemandangan itu ada di dirimu sayang.
“Jangan mikir macam-macam yah... Aku sayang sama kamu Ran...”
Aku juga menyayagimu sayang. Kau menarikku mendekap padamu. Kehangatanmu mencairkan perasaanku, membiarkan sisa air mataku keluar dengan tenang.
Aku sadar, kita memang tidak pernah lagi berstatus pacaran. Untuk itu aku tidak pernah mengatakan bahwa kau pacarku, tetapi kau kekasihku sayang. Orang yang telah kuyakini akan bersamaku dan mendampingiku seterusnya.
Akbar, kau dulunya adalah pacar pertamaku, juga cinta pertamaku. Orang yang mengenalkanku pada dunia lain yang bahkan tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Kau mengenalkanku pada kebahagian yang tidak kusangka seperti itu indahnya. Dimana aku yang bisa belajar berbagi setiap hal, belajar memberi dengan ketulusan. Bahkan merasakan kedamaian yang amat dalam saat memberikan sesuatu untukmu. Itulah cinta kasihku. Kau juga mengajariku untuk hidup. Kepahitan dan duka yang dijalani bersama, kau membimbingku untuk bijak dan menjadi lebih dewasa karenamu. Kau begitu hebat sayang.
Akbar, aku menyadari bahwa aku telah sangat mengagumimu, mencintaimu, menginginkanmu, mengharapkanmu.  Mungkin karena itulah, sehingga aku jadi terlalu menggantungkan diri atasmu. Aku terlalu yakin padamu sayang. Karena di mataku kau begitu sempurna. Dan saat itu, kau melihatku. Kau mengulurkan tanganmu kembali, mengizinkanku untuk mengasihimu. Kau juga membelaiku dengan sentuhan kasihmu. Membuatku merasakan itulah kado istimewamu sayang. Semua itu terjadi begitu saja. Hingga kasih terus berkembang seiring berjalannya waktu dan kondisi yang mendukung kebersamaan kita. Namun kesimpulannya, dalam situasi ini, semua ini terjadi karena aku yang tidak bisa lepas darimu. Membuatmu juga jadi terus menggenggamku.
Sayang, kedewasaanmu barusan telah menegurku lagi. Membuat pemikiran dan rasaku tersentak, tenang, kemudian bertahan pada satu hal menjadi sebuah keyakinan yang lebih kuat dari sebelumnya. Kau dulunya pacar pertamaku, kemudian cinta pertamaku, berjalan hingga saat ini, dan menjadi teman hidupku. Kau telah memberiku keyakinan itu sayang. Meski bibirmu tidak mengucapkan hal itu, aku bukan tinggi percaya diri, tapi tatapan matamu selama ini telah mengatakannya dan cukup untuk membuatku untuk terus bersabar menantikan saat itu.
Mataku terbuka, tapi sudah dalam kondisi sembap. Ternyata aku menangis. Mimpi barusan membuatku seperti mengalaminya langsung. Tubuhku kaku, sepertinya aku sudah tidur dengan posisi itu cukup lama. Kuperbaiki perasaanku, masih teringat percakapanku dengan Akbar di mimpi barusan. Aku beruntung itu hanya sekedar mimpi.
Kuperbaiki perasaanku, duduk di atas tempat tidur sambil memeluk guling. Aku teringat pada hubunganku dengan Akbar. Tiba-tiba air mataku menetes lagi. Astaga, suasana melankolis kembali terjadi. Aku tersadar pada semua ini, semua yang kualami dengan Akbar. Harus kubernarkan apa yang terjadi di mimpiku barusan.
Kali ini kubiarkan air mataku menetes dan membasahi hampir semua bagian wajahku. Ketidakjelasan. Akbaaar.... Aku menangis lebih dalam. Kuingat semua kebaikan dan jasanya kepadaku selama ini. Kuingat betapa dia menjaga dan melindungiku dengan penuh tanggung jawabnya.
Mungkin aku bodoh, tapi aku harus realistis. Kenyataannya aku memang bukan pacar Akbar. Aku bukan pacarnya! Mungkin lebih tepatnya aku hanya perempuan tidak tahu diri yang terlalu memiliki rasa yang dalam untuknya. Aku sudah terlalu egois selama ini. Aku memperlakukannya selayaknya pacarku, dan mungkin aku sudah banyak membebani pikirannya. Padahal aku bukan siapa-siapa, aku hanya orang yang terus berharap dan menunggu kepastiannya. Tapi di satu sisi, aku juga merasakan perasaannya untukku.
Akbaarr!! Kamu nggak jelas! Kamu itu nggak jelas!! Perasaan ini bikin aku serba salah, aku bisa malu sama diriku sendiri. Tapi aku juga yakin sama perasaan kamu! Tapi kenapa harus serumit ini Akbar... Kenapa terlalu sulit untuk jadiin ini semua jelaas?! Apa salahku?! Atau mungkin aku memang salah. Karena kalau aku tahu kamu nggak sayang sama aku, aku pasti bakal tetap nunggu kamu... Astagaa... Kamu anggap aku apa..., apa tujuaan kamuu... Sampai kapan kayak gini Akbaar?! Sampai kapan aku harus terus bicara sama diri aku sendiri, aku nggak tau apa-apa tentang kamu! Kamu kasih aku harapan tapi harapan itu sendiri nggak jelas mau kemana...
Kubiarkan saja diriku menangis. Cukup lama, hingga aku bisa kembali menghirup udara dengan pemikiran yang lain. Aku merenung, kucoba tenangkan diriku pelan-pelan. Kucoba membuka pikiran dengan berbagai kebijakan. Tuhan..., Kau memberiku perasaan seperti ini tentu ada tujuannya...

Aku pun bangkit dari tempat tidur. Hari ini aku akan ke SMA Yudhistira. Menyaksikan langsung namaku tercatat sebagai alumni SMA Yudhistira. Maka selanjutnya aku akan menjadi seorang mahasiswi. Aku jadi tidak sabar untuk itu.

@@@

Ujian nasional telah berlalu. Sudah hampir dua minggu aku tidak menghampiri Yudhistira. Hari ini, aku datang bersama satu keputusan yang sudah dinanti banyak orang termasuk aku.
Kulangkahkan kembali kakiku melewati gerbang, inilah saat-saat terakhir kebersamaan kita. Mungkin aku tidak bisa lagi menemuimu dengan sedekat ini. Atau bahkan mungkin juga kita tidak bisa lagi bertemu.
Aku berjalan di sepanjang koridor. Kunikmati segala suasana yang bisa kurasakan saat ini. Di kejauhan, kulihat teman-temanku sudah memenuhi papan pengumuman. Mereka semua terlihat bergembira. Beberapa dari mereka sudah bermain dengan pilox warna-warni. Ada juga yang berlarian sembunyi, menghindari serbuan coretan.
Aku memilih di posisi ini, semoga mereka tidak menyadari keberadaanku haha. Tapi aku tidak akan lari kalau mereka mendapatiku. Aku juga ingin berbaur dengan mereka. Hanya saja aku ingin tenang dulu. Ingin menikmati suasana. Kupandangi mereka satu per satu, tidak ada sosok yang begitu kurindukan. Dimana dia?
Dert..dertt.., handphoneku bergetar. Ada pesan dari Amel.
Ke skolah kan?
Aku hanya tersenyum, tidak membalas pesannya. Kalau kuberitahu, pasti dia akan langsung datang menyerbuku. Nanti saja, masih ada acara perpisahan setelah ini. Aku tidak akan melewatkannya.
Dertt...derttt..., kembali handphoneku bergetar. Kali ini pesan dari Akbar.
Selamat yah J
Kamu juga J
J hmm kamu dimana?
Taman skolah
Tidak lama kemudian orang yang kunantikan datang menghampiriku dengan senyuman manisnya, senyum khas dari bibir seorang Akbar. Dia duduk di sampingku, kemudian menyodorkan gelang padaku.
“Buat aku?”
“Buat aku lah...”, jawabnya.
Aku sedikit cemberut, kemudian kukembalikan gelang itu padanya. “Kalo buat kamu, kenapa kasih ke aku...”
“Buat kamu pake, supaya kamu inget terus sama aku...”
“Terus kenapa bilangnya buat kamu?”
“Yah karena kalo kamu ingat terus sama aku, artinya kamu akan terus buat aku...”, jawabnya sambil tersenyum kemudian mengacaki rambutku.
“Yee belum tentu...”
“Kenapa?”
“Kan aku mau pergi jauh... Jadi kita bakalan lama nggak ketemu...”
“Terus kenapa? Kita emang nggak ketemu. Tapi kamu nggak bakal pergi kemana-mana.”
“Kok gitu?”
“Karena kamu mana bisa ninggalin aku blweeekk!”, ujarmu sambil memelet, mengejekku.
Aku memasang muka masam. Kau memang benar bodoh. Kau bisa bangga atas itu. Aku tidak pernah bisa lepas darimu. Dan kau sudah mengenaliku terlalu jauh. Bahkan untuk sesuatu yang semestinya tidak usah kau tahu. Meski saat ini mungkin kau akan memegangku, kau bisa mempermainkanku, tapi kau adalah Akbar. Seseorang yang juga sudah kukenali jauh dari yang kau tahu sayang. Kepercayaanku datang dari sikapmu selama ini terhadapku.
“Kenapa dikasih gelang?”, tanyaku untuk memulai kembali pembicaraan.
“Karena kamu suka pake gelang.”
“Ooohh... Tapi aku pernah nonton, katanya gelang itu tempatnya paling dekat dengan nadi. Jadi kalo dipake selalu bikin kita ingat sama orang yang ngasih...”
“Oh ya udah berarti aku juga gitu.”
“Yee kamu asal ikut-ikutan aja.”
“Ih enggak. Tadi kan emang aku bilang biar kamu inget terus sama aku.”
“Iyaa deh iyaa...”
“Bukan iya deh, tapi emang gitu kenyataannya kan.”
Kembali aku memasang muka masam. Biasanya dia akan mengataiku jelek kalau berekspresi seperti itu. Tapi dia malah tertawa dan mengacaki rambutku. Aku hanya tersipu dan ikut tertawa bersamanya.
“Hmm tapi aku nggak punya apa-apa...”
“Ada.”
“Apa?”, tanyaku bingung.
Kemudian Akbar membuka tasnya, mengeluarkan satu buku yang tidak kukenali. Buku itu cukup tebal dan tampak sering dibuka. Dia menyodorkannya padaku.
“Apaan nih?”
“Buka aja.”
Sejenak kupandangi Akbar, kemudian pelan-pelan kubuka buku itu. Ternyata sebuah catatan. Lembarannya mulai kubuka satu per satu. Hingga kutemukan lembaran berikutnya, tertulis namaku dan namanya. Aku pun mulai mengerti apa isi buku ini. Dengan rasa penasaran, kulanjutkan membuka lembaran bukunya, ternyata ada fotoku. Tapi foto itu sudah lama sekali, aku masih SMP saat foto itu diambil. Aku jadi malu sendiri begitu melihatnya.
“Kenapa?”
“Kok foto yang ini masih ada? Aku aja udah nggak punya.”
“Yee biarin.”
“Tapi sejak kapan kamu mau nyimpen-nyimpen foto aku sampe segininya? Jelek banget lagi. Jaduuul...”
Akbar hanya menertawaiku. Kubalikkan kembali lembaran bukunya, kutemukan tulisan-tulisanku. Astaga sayang, kau menyimpan semuanya. Bahkan sesuatu yang sudah dilupakan, kau satukan dalam suatu memory. Sayang, terima kasih atas yang kau lakukan. Aku tidak menyangka kau melakukan ini. Kau sungguh sulit kutebak.
“Hmm kalo kamu ngasih ini, berarti ini dari kamu lagi. Aku tetep nggak punya apa-apa buat kamu...”
“Siapa bilang ini buat kamu blweeekk!”, ujarmu kemudian merebut buku itu dariku.
Lagi-lagi aku hanya bisa memasang wajah masam. Huh bisa-bisanya kau bercanda seperti itu. “Terus ngapain kamu ngasih liat kalo mau diambil lagi?”
“Nggak pa-pa. Kebetulan tadi aku bawa aja. Aku kasih liat supaya kamu tau kalo waktu SMP muka kamu jeleeeek banget. Aku mungkin kepelet jadi mau sama kamu hahahaha...”
“Akbar, tau nggak? Kamu kalo kayak gitu minta digigit!”, ujarku kesal kemudian menarik tangannya dan berusaha menggigit. Dia berusaha menghindariku tapi terus tertawa.
Kemudian aku berhenti. Kupandangi wajahnya yang begitu ceria dengan senyum manisnya. Oh Tuhan, sangat kuakui bahwa kau memang sangat manis bodoh.
“Hahaha kamu kenapa? Naksir?”
Ya ampun! Kau memang benar, tapi mengapa kau harus menanyakan hal itu? Dasar bodoh! Mau tidak mau raut masam kembali terpampang jelas.
“Jelek banget sih...”
“Tau kok.”
“Ciee ngambek haha...”
Aku kemudian tersenyum padanya. Tiba-tiba aku teringat pada mimpiku tadi pagi.
“Aku masih nggak nyangka kita bakal jarak jauh...”
“Oohahah kamu masih mikirin itu yah... Hmm kamu ngerasa nggak, kita ini udah sama-sama sejak SMP. Dipertemuin dengan cara yang sama sekali nggak disangka, terus kita tiba-tiba satu sekolah, satu kelas, pacaran terus putus lamaaaa karena satu masalah yang sepele banget, tapi tetep aja kita sama-sama terus sampe sekarang. Itu artinya, kita emang yah..., mungkin emang kita buat sama-sama... dan aku ngerasa kalo kamu itu udah ada dalam diri aku...”. Kau memandangku dengan tatapan hangatmu.
Aku tersenyum saja padanya. “Panjang banget jawabannya. Perasaan aku tadi cuma ngomong dikit hahahaha... Hmm tapi aku percaya kok. Aku cuma teringat aja sama mimpi tadi pagi...”
“Yeee kapan lagi bisa ngomong gitu! Aku tau kamu pasti bakal bahas ini makanya aku ngomong panjang-panjang.”
“Oh ya? Udah sampe mana ngomongnya Pak? Hahahah...” Kali ini aku yang mengejeknya. Siapa suruh tadi terus-terusan mengejek.
Kali ini dia yang memasang tampang masam. Hahaha kau sungguh lucu sayang. Tapi itu tidak lama, mungkin kau tidak mau membiarkanku mengejekmu lebih lama hahaha. Kau malah minta untuk kuceritakan tentang mimpiku. Kau hanya tersenyum mendengarnya, kemudian memelukku. Pelukan yang sama seperti di mimpiku. Sepertinya aku de javu lagi.
“Jangan mikir macam-macam yah... Inget kata-kata aku... Aku sayang kamu Ran...”, ucapnya sambil tersenyum hangat ditutup dengan kecupan di keningku.
Aku tahu itu sayang, aku menyadari apa yang kau katakan memang benar. Aku hanya takut untuk merindukanmu. Aku takut kalau sikap kekanakanku datang di saat yang tidak tepat dan menuntut egoku pada suatu hal yang juga akan membuatku menyesal. Sayang, aku begitu beruntung karena kau hadir menjadi penyeimbang kekuranganku itu. Aku berharap, kedewasaanmu akan senantiasa membimbingku agar tidak menyesal dalam setiap langkah, mengiringi kebersamaan kita.
Sekali lagi kukatakan, dalam mimpi itu memang benar. Kita tidak dalam status pacaran. Tapi kaulah kekasihku. Kaulah orang yang bersedia bersamaku seterusnya. Kaulah orang yang telah meyakinkan hatiku. Membuatku mampu bertahan pada keyakinan yang berawal dari tatapanmu, suaramu, nasehatmu, sentuhanmu, dan pelukanmu. Kemudian keyakinan itu kini bersumber dari keyakinanmu untuk mencintaiku.
Sebentar lagi kita akan berpisah jarak. Bukan hanya meninggalkan Yudhistira, tapi lebih dari itu. Aku di kota A, dan kau di kota B. Menjalankan tugas berikutnya demi masa depan yang diimpikan. Kita akan sangat jarang bertemu. Apalagi aku akan tinggal di asrama tempat kuliahku nanti. Aku yakin ini akan sulit. Setelah kita banyak menjalin kasih setiap hari, tiba-tiba akan direnggangkan oleh situasi. Tapi keyakinan pada satu hal telah ada di pihak kita sayang. Kita akan bertemu lagi kelak, di saat yang lebih indah. Kemudian membuat cerita baru yang tentunya lebih seru. Belum bisa kubayangkan saat-saat itu sayang. Semoga kita sukses.
Kau memegang tanganku, mengajakku berdiri dan sekedar jalan-jalan mengutari Yudhistira yang sebentar lagi kita tinggalkan. Gedung SMA Yudhistira memang sudah resmi akan ditutup. Siswa-siswinya akan dipindahkan di gedung Yudhistira pusat yang terletak agak jauh dari tempat ini. Beberapa mungkin memilih untuk pindah sekolah karena alasan lokasi SMA Yudhistira yang baru. Tidak apalah, keputusan ini sepertinya memang sudah yang terbaik demi kenyamanan bersama.
Kusentuh dinding-dinding tua Yudhistira, terngiang masa-masa indah SMA. Rasanya baru kemarin aku mendaftarkan diri masuk di sekolah ini, sekarang sudah harus pergi hmm. Akbar tersenyum padaku, mengajakku pulang.
Sebelum meninggalkan area SMA Yudhistira, kubalikkan tubuhku. Rasanya aku sudah merindukan masa-masa tak terlupakan itu. Aku terdiam sejenak. Kuhirup dalam-dalam udara di sore itu, kututup mataku, kemudian perlahan kubuang udara yang sudah menumpuk di dada, seraya membuka mata. Kim, kau di sana. Kau masih sendirian. Aku masih berdoa untuk ketenanganmu. Meskipun kau tidak menjalani hari-harimu dengan Nathan–kekasihmu, tapi jika kau mencintainya, sesungguhnya dia sudah ada bersamamu. Sama seperti aku dan Akbar.
Kim tersenyum padaku, melambaikan tangan, melepaskan kepergianku. Selamat tinggal masa SMAku. Selamat tinggal Yudhistira, sampai jumpa sahabat-sahabat dan kekasihku.

Cinta tidak dinilai dari status hubungan, kemesrahan, jarak, pertemuan, ataupun kata-kata. Cinta itu hanya dapat dirasakan melalui keyakinan. Apakah kau yakin dialah cintamu, dialah yang kau butuhkan, dapatkah kau bertahan tanpa status, tanpa kemesrahan, dengan jarak jauh, dan pertemuan yang jarang? Bukti dari keyakinan dapat dilihat dari bagaimana kita mampu bertahan.

@@@












The One That Have You Read

Cerita ini hanya karangan belaka. Terinspirasi mistis berasal dari tempat-tempat yang sebelumnya penulis datangi di Sulawesi Selatan, seperti Goa Mimpi di Gunung Bulusaraung, Maros, tepatnya di dalam area wisata Bantimurung dan sebuah sekolah tua yang memang masih seringkali terjadi kejadian ganjil yaitu di SMA Negeri 16 Makassar. Namun sekolah tersebut masih aman dan aktif karena tidak pernah ada korban jiwa dalam setiap kejadian.
Tidak ada legenda dari Goa Mimpi yang dapat memastikan akan terjadi kisah yang sama seperti tokoh apabila seseorang mengunjungi goa tersebut. Juga tidak ada hubungan antara Goa Mimpi dengan sekolah tersebut. Maka tempat-tempat yang tertera dalam cerita ini masih tergolong aman untuk masyarakat. Penulis hanya membagikan beberapa bayangan yang masih sering terjadi di sekitar kita melalui cerita ini.

Rini Hardiyanti

0 comments:

Post a Comment