Sunday, 15 September 2013

Nasehat dan Pengharapan



Aku terpikirkan untuk menulis kisah ini ketika sedang makan malam yang baru saja. Nasi putih, tumis buncis, dan ikan asin yang kubawa dari Makassar. Kulahap dengan nikmat bersama syukur. Jam 11.17 WIB, cukup tenang, saat pikiran dan hatiku menghantarkanku kembali pada percakapan singkat dengan seorang penjual putu pandan yang tadi kubeli dagangannya. Yah, Rp. 5000,- untuk 5 potong putu pandan. Kira-kira seperti ini :

“Neng kuliah di itu ya, PLN?”
“Iya…”, jawabku kemudian tersenyum.
“Oh… yaa…, rambutnya pada pendek-pendek yah. Kemarin banyak yang beli pada botak, katanya mahasiswa baru…”
“Ohhe iya emang kalo maba masih disuruh pendekin rambutnya..”

Beberapa menit kemudian pembicaraan kami sampai pada :
“Orang tua Neng pasti mampu ya bisa kuliah disana…” Kali ini saya hanya tersenyum. “Bapaknya guru ya?”, lanjutnya.
“Lho kok tau Bang?”
“Iya… Biasanya kan gitu, orang tua selalu nyekolahin anaknya tinggi-tinggi. Abis kuliah disitu jadi S apa Neng?”

Kali ini aku menyimak baik omongan Abang itu. Rasa tidak enak padanya, membuatku memilih cukup tersenyum sampai waktunya aku seakan diminta untuk bicara. “Ya kalo saya sih S1 Bang…”
“Hmm saya juga sebenarnya pengen kuliah Neng… Tapi apalaah, orang tua saya gak mampu. Saya lulus SMA aja ini udah syukur…”, ucapnya sambil tersenyum padaku.
“Hmm yang penting udah usaha Bang…”. Aku berusaha menyemangatinya.
“Abis itu langsung kerja ya?”, lanjutnya.

Lagi-lagi kupilih untuk tersenyum dan menjawab pelan, “Iya…”, semoga. Kuperhatikan dia terus mengisi silinder kayunya untuk mencetak putu pandan. Aku adalah pelanggan terakhirnya malam itu. Dagangannya sudah habis, Alhamdulillah.
“Udah abis ya Bang?”
“Iya, kan saya dari siang Neng jualannya…”. Aku tetap memperhatikan. “Pagi-pagi, jam enam, mungkin Neng belum bangun, saya udah ke pasar, terus ngukus ini. Ada juga tuh yang bulet resep keluarga saya..”, ucapnya sambil menunjuk makanan yang bentuknya mirip dengan makanan di daerahku.
“Ohhe itu mirip sama makanan di Sulawesi, namanya Onde-Onde Gula Merah… Kalau di Jawa kan Onde-Onde pake wijen ya? Kalo di tempat saya ada juga yang kayak gitu.., isi gula merah terus luarnya kelapa…”

Abang itu terlihat menyimak. Kami sama-sama menikmati pembicaraan itu.
“Kalo yang ini dari ketan… Kalo yang Eneng gimana?”
“Wah saya kurang tau juga sih, hehee…”

Abang itu kemudian melipat kertas untuk membungkus pesananku. “Neng, belajar yang pinter ya, biar Bapaknya juga seneng. Semoga Neng jadi orang pinter…”, ucapnya sambil memberikan sebungkus putu pandan berwadah kertas kopi untuk makanan.

Masya Allah, hatiku begitu tersentuh saat Abang itu memberikan nasehat dan pengharapan. Sepatutnya aku bersyukur lebih banyak, bukannya mengeluh karena tugas menumpuk. Sepatutnya aku bersyukur karena masih diberikan kesempatan kuliah, masih diberikan kesempatan mengerjakan tugas, toh tugas yang banyak juga membuatku lebih banyak membaca, banyak belajar, dan banyak tahu tentunya. Mungkin ini teguran untukku karena terlalu banyak mengeluh, tugas PLJD yang menyita waktu depan laptop sampai hang berkali-kali lah, tugas SI yang pembuatan kertas laporannya terkendala 5 kali lah, dan lain-lain.

Aku pun sempat berpikiran untuk menabung dan membeli handphone karena touch handphone sudah biasa bermasalah. Terlalu sering melihat ke atas, ke orang-orang yang mengikuti perkembangan zaman, dan terlalu banyak bermanja dengan kehidupan. Padahal yang kualami tidak seberapa dengan mereka yang masih harus tinggal di rumah kontrakan. Setiap hari cemas saat bertemu sang empunya rumah. Atau mereka yang masih harus menyicil kendaraan, kemudian rejekinya masih belum menentu setiap bulan. Sedangkan kendaraan itu adalah modal usaha mereka. Astagfirullah… Aku masih diberi kesempatan untuk hidup lebih layak. Aku masih diberi kesempatan untuk menimba ilmu, dan memiliki peluang kerja di masa depan.

Pelajaran bermakna dari Abang itu adalah kesederhanaan dan syukur  itu damai.
Yahh baru kusadari di jam malam ini. Tadi aku masih sempat mengadu keluhan ke Bapak dengan kalimat : “Bapak tugasnya beraattt :””. Balasan Bapak : “Sabarki yg penting kerja sj adatonji itu nilainya tp jgn juga asal jadi”. Yang artinya, ‘sabar aja, yang penting dikerjain, akan ada nilainya juga kok tapi jangan asal jadi juga’. Ah Bapak, maafkan anakmu yang masih kurang berusaha. InsyaaAllah makin focus sama kuliah. InsyaaAllah juga bisa selalu konsisten, ingat nasehat, dan selalu bersyukur. Makasih Pak :”)

0 comments:

Post a Comment